Breaking News

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 24 Desember 2009

UPAYA PRAPERADILAN

Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.

Dalam proses penegakan hukum pidana pada kenyataannya sering terjadi orang ditangkap dan ditahan tanpa adanya surat perintah penangkapan dan/atau penahanan, bahkan proses penangkapannya sering pula dilakukan tanpa mengindahkan hak-hak asasi manusia, atau melanggar pasal 18 ayat (1) UU No.39 tahun 1999 tentang HAM, terkait asas praduga tak bersalah, yang berbunyi ; "Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan suatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan" dan berdasarkan pasal 4 UU yang sama, setiap orang memiliki "hak untuk tidak disiksa" dalam penegakan hukum. Dan dalam pasal 9 ayat (2) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pejabat yang melanggar ketentuan tersebut di atas bukan lagi dapat dipidana akan tetapi "dipidana".

Seperti yang kita ketahui Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan tentang : a) Sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan ; b) Sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan ;     dan c) Permintaan ganti-rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan ;Hal mana tentang Praperadilan tersebut secara limitatif diatur dalam pasal 77 sampai pasal 83 Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang KUHAP.

Sejauh ini di dalam praktiknya hak tentang Praperadilan tersebut hanya dilakukan oleh tersangka atau keluarga tersangka melalui kuasa hukumnya dengan cara melakukan Gugatan Praperadilan terhadap pihak Kepolisian atau terhadap pihak Kejaksaan ke Pengadilan Negeri setempat yang substansi gugatannya mempersoalkan tentang sah tidaknya penangkapan atau penahanan atau tentang sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan. Kita tidak pernah mendengar bahwa Kepolisian mempraperadilankan Kejaksaan tentang sah tidaknya Penghentian Penuntutan terhadap tersangka/terdakwa, atau sebaliknya pihak Kejaksaan mempraperadilankan pihak Kepolisian tentang sah tidaknya Penghentian Penyidikan.

Perlu untuk diketahui oleh masyarakat pada umumnya dan Penegak Hukum pada khususnya bahwa pasal 77 s/d pasal 83 KUHAP yang mengatur tentang Praperadilan tidak hanya memberikan hak kepada tersangka atau keluarganya untuk mempraperadilankan Kepolisian dan Kejaksaan, namun pasal tersebut juga memberi hak kepada Kepolisian untuk mempraperadilankan Kejaksaan begitu juga sebaliknya pasal tersebut juga memberi hak kepada Kejaksaan untuk mempraperadilankan Kepolisian. Jika suatu perkara pidana sudah di SPDP (P.16) dari Kepolisian ke Kejaksaan dan dalam perkembangannya menurut penilaian pihak Kejaksaan kasus tersebut telah memenuhi syarat untuk dilakukan penuntutan, namun ditengah jalan tiba-tiba pihak Kepolisian mengeluarkan SP3 (Surat Penetapan Penghentian Penyidikan) terhadap kasus tersebut maka demi tegaknya hukum dan keadilan seharusnya upaya akhir yang ditempuh pihak Kejaksaan adalah melakukan Gugatan Praperadilan terhadap pihak Kepolisian ke Pengadilan Negeri. Begitu juga jika suatu perkara telah dinyatakan cukup bukti oleh pihak Kejaksaan (P.21) dan/atau telah perkara tersebut telah dilimpahkan dari Kepolisian kepada Kejaksaan, namun ditengah jalan tiba-tiba Kejaksaan mengeluarkan SP3 (Surat Penetapan Penghentian Penuntutan), maka seharusnya demi tegaknya hukum dan keadilan pihak Kepolisian harus berani melakukan Gugatan Praperadilan terhadap pihak Kejaksaan ke Pengadilan Negeri.

Namun dalam praktiknya hal semacam itu sangat sulit terjadi karena masing-masing pihak berusaha saling menjaga hubungan baik atas dasar pertimbangan rasa segan sesama aparat dan/atau adanya rasa saling membutuhkan dalam system kerja dan/atau adanya rasa "saling pengertian". Dan kondisi semacam ini jika dibiarkan terus tanpa ada upaya untuk memperbaiki agar sesama penegak hukum tercipta budaya saling kontrol, maka iklim semacam ini pada gilirannya akan menganggu upaya penegakan supremasi hukum di negara kita ini. Dalam negara hukum yang berusaha menegakkan supremasi hukum sangat diperlukan suatu lembaga kontrol yang independen yang salah satu tugasnya mengamati/mencermati terhadap sah tidaknya suatu penangkapan, penahanan atau sah tidaknya penghentian penyidikan suatu perkara pidana atau sah tidaknya alasan penghentian penuntutan suatu perkara pidana baik itu dilakukan secara resmi dengan mengeluarkan SP3, apalagi yang dilakukan secara diam-diam..

Di samping itu diharapkan juga pihak Kepolisian dapat mengontrol kinerja Kejaksaan apakah perkara yang sudah dilimpahkan benar-benar diteruskan ke Pengadilan. Begitu juga pihak Kejaksaan diharapkan dapat mengontrol kinerja Kepolisian di dalam proses penanganan perkara pidana apakah perkara yang sudah di SPDP (P.16) ke Kejaksaan yang dinilai telah cukup bukti pada waktunya benar-benar dilimpahkan oleh Penyidik ke Kejaksaan atau berhenti secara diam-diam. Di dalam era supremasi hukum ini Kepolisian harus berani mempraperadilankan pihak Kejaksaan jika suatu perkara yang telah dinyatakan cukup bukti (P.21) atau tahap 2, ternyata perkara tersebut tidak jadi dilimpahkan ke Pengadilan. Begitu juga sebaliknya. dan berbicara upaya prapradilan kayaknya ini hanya dapat diandalkan kepada pihak Advokat/Pengacara, sebagai penegak hukum yang independen. Yang jelas Praperadilan bukan hanya hak dari tersangka atau keluarga tersangka, tapi juga merupakan hak dari Kepolisian dan Kejaksaan. ( Oktober 2008 )

VARIABLE DEMOKRASI

Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.

Indonesia boleh saja disebut sebagai suatu negara "demokrasi", karena ukuran yang diambil adalah, adanya "kebebasan pers", pemilihan jabatan "presiden, Gubernur, Bupati dan Kepala Desa dipilih lansung oleh rakyat. Partisipasi politik rakyat dalam menentukan arah perjalanan bangsa, negara dan pemerintahan hanya sebatas itu. Celakanya lagi kebanyakan rakyat beranggapan dengan system demokrasi yang dijalankan tentu akan melahirkan kehidupan rakyat yang lebih baik, yaitu kehidupan yang aman, damai dan sejahtera.

Namun pada kenyataannya negara Indonesia yang dikatakan telah menjalankan demokrasi, faktanya hasilnya melahirkan banyak kekacauan dan masalah yang tidak berkesudahan, jumlah penduduk miskin masih di atas 100 juta orang [45,2% dari jumlah penduduk dengan asumsi mempunyai penghasilan rata-rata 2$(duaUSD/hari)], kerusuhan sosial dan bencana kemanusiaan kerap terjadi, penegakan hukum yang buruk, anarkisme serta banyak terjadi "tirani" dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas yang bersumber dengan berkembangnya politik massa yang dijalankan selama ini.

Sehingga tidak mengherankan jika Pemilu Indonesia hanya bersifat ritual politis atau ceremonial democratie, namun proyek itu harus dijalankan karena undang-undang mengharuskannya. Dari fakta ini sungguh dangkal pemahaman bangsa ini dalam melaksanakan sebuah negara yang demokratis. Sehingga tidak heran demokrasi yang dijalankan Indonesia selama ini telah menghasilkan fakta kehidupan rakyat yang lebih buruk dari fakta semasa rezim pemerintahan Soeharto, dimana pada waktu itu rakyat masih merasa aman dan mudah dalam mencari kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Rakyat harus tahu bahwa batasan pengertian, "demokrasi" adalah suatu proses penyelenggaraan system kekuasaan negara yang dilakukan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sedang batasan pengertian secara operasional, "demokrasi" adalah bagaimana sikap dan prilaku rakyat dalam menjalankan Pemilu dengan baik., bagaimana rakyat atau para wakil rakyat bermusyawarah dengan baik, bagaimana para wakil rakyat di DPR dan atau di dalam semua rapat-rapat yang diselenggarakan dapat mengatasi perbedaannya dengan baik serta dapat menggunakan hak-hak DPR dalam proses pemerintahan dengan baik (seperti, hak budget, hak inisiatif, hak interplasi, dll), dan bagaimana prilaku rakyat dalam menyampaikan pendapat kepada institusi mana saja dapat dilakukan dengan baik, tertib dan damai tanpa anarkisme. Sehingga dari beberapa indikator tersebut tidak lagi terjadi anarkisme yang bersumber dari akibat dijalankannya demokrasi itu. Keseluruhan itu adalah merupakan variabel untuk mengukur apakah kita benar-benar sebuah negara yang menjalankan system demokrasi.

Memang pada kenyataannya tanpa kemakmuran rakyat lebih dulu ada, proses demokrasi yang dijalankan tetap akan melahirkan kekacauan dan instabilitas di hampir semua sektor yang ada. Apalagi rakyat tidak memiliki pemahaman dasar dalam hidup berbangsa dan bernegara, dimana untuk hidup dalam negara domokrasi rakyat harus memahami dan menyadari minimal terhadap 4 (empat) hal yaitu, 1). Kita semua adalah mahluk ciptaan Tuhan, sehingga harus terjalin hubungan yang baik dengan Sang Pencipta, sehingga apapun yang kita lakukan harus bertanggungjawab kepada Nya. ; 2). Kita semua adalah mahluk sosial, artinya kontribusi yang kita berikan dalam Pemilu tidak boleh memikirkan kepentingan diri sendiri, dan harus mengutamakan kepentingan nasib orang banyak.; 3). Kita semua harus sadar bahwa kita adalah warga dari suatu bangsa dan negara, yang oleh karenanya dalam berdemokrasi harus bertanggungjawab terhadap keselamatan dan keutuhan bangsa dan negara.Indonesia ; dan 4). Rakyat harus sadar bahwa kita adalah warga dari komunitas dunia, yang memiliki tanggungjawab sesama umat sebagai penghuni dunia/bumi ini, apalagi dalam menyelamatkan iklim global yang mengancam keselamatan dunia. Tanpa memiliki pemahaman ini dapat dipastikan kehidupan rakyat, bangsa Indonesia selamanya akan menuai bencana yang diciptakan oleh manusia itu sendiri.

Dalam berdemokrasi sudah saatnya rakyat banyak harus menentukan pilihan dan partisipasi politiknya dengan menggunakan akal sehatnya. Rakyat jangan mau lagi hak suaranya dibeli. Rakyat harus mendapatkan informasi yang lengkap terhadap para calon yang akan dipilihnya. Oleh karena itu dalam menjalankan pesta demokrasi Panitia Pemilu (KPU atau KPUD) harus dapat mensosialisasikan kelebihan dan kekurangan para calon wakil rakyat atau pemimpin yang akan dipilihnya. KPU atau KPUD bersama seluruh LSM yang ada harus dapat mendidik rakyat bagaimana memahami hidup berbangsa dan bernegara dalam system demokrasi. Sehingga rakyat tidak mudah termakan oleh propakanda partai-partai politik yang menjual janji-janji, sementara partai tersebut telah terbukti tidak dapat berbuat banyak untuk mensejahterakan rakyat, apalagi menciptakan rasa aman.

Rakyat dituntut harus lebih banyak mendengar dan melihat fakta apa saja yang telah terjadi di negara ini yang membuat bangsa Indonesia ini terpuruk di segala bidang, sehingga rakyat menjadi sadar bagaimana harus bersikap dalam menggunakan haknya. Rakyat harus menjadi subyek demokrasi yang dijalankan, bukan menjadi obyek demokrasi, seperti yang selama ini terjadi. Semoga.


Minggu, 07 Juni 2009

KANTOR ADVOKAT SOFYAN LUBIS YOGYAKARTA

Kantor Advokat Drs.M.Sofyan Lubis, SH.& Rekan, adalah Kantor Advokat / Pengacara / Konsultan Hukum bersama rekan advokat lainnya yang ada di Yogyakarta. Kantor kami bergerak memberikan jasa hukum dan/atau bantuan hukum kepada masyarakat luas yang membutuhkannya, dengan wilayah kerja diseluruh Indonesia. Kami adalah Advokat yang telah banyak memberikan jasa bantuan hukum kepada mereka pencari keadilan, baik dalam perkara Korupsi, Narkoba, Pidana pada umumnya, Sengketa Dagang, Perdata pada umumnya, Sengketa Tata usaha Negara, Dll.

Kami menyadari profesi kami adalah bersifat kepercayaan dari anda, sehingga amanah anda kepada kami adalah kehormatan yang akan kami jadikan komitmen untuk ditindaklanjuti dengan konsistensi serta dipelihara dengan memperjuangkannya secara kontiniu. Kami tidak boleh menjanjikan yang muluk-muluk, selain dari memperjuangkan kepentingan hukum anda secara maksimal. Terima kasih.

Jika anda memerlukan jasa/bantuan hukum, silakan menghubungi kami di :
XL : 0818.27.1155. Halo : 0813.2823.8999.
Telp / Fax : ( 0274 ) 384129
Email : advokat.sofyanlubis@yahoo.co.id

Rabu, 22 April 2009

DEMOKRASI, PEMILU DAN PENEGAKAN HUKUM

Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.

Demokrasi Modern menurut definisi aslinya adalah bentuk pemerintahan yang di dalamnya banyak keputusan pemerintah atau di belakang kebijakan yang menimbulkan keputusan itu lahir dari suara terbanyak yakni dari mayoritas di pemerintahan atau di belakang kebijakan yang menimbulkan keputusan itu lahir dari suara terbanyak, yakni dari mayoritas di pemerintahan (consent of a majority of adult governed).

Namun batasan konseptual yang mudah difahami tentang “demokrasi” adalah, suatu proses dari system penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan suatu negara yang dijalankan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sedang batasan operasional dari “demokrasi” adalah, bagaimana indikator demokrasi berjalan sebagaimana mestinya. Dan itu dapat diketahui dengan mengukur dan mempertanyakan indikator demokrasi tersebut, seperti : 1. Tingkat sehat tidaknya penyelenggaraan Pemilu ; 2. Tentang sehat tidaknya bangsa ini atau tokoh-tokoh politik dalam bermusyawarah (negosiasi); 3. Tentang sehat tidaknya partisipasi rakyat dalam mempengaruhi kebijakan publik suatu Pemerintahan ; 4. Tentang sehat tidaknya hak-hak wakil rakyat dipergunakan dalam mengkontrol jalannya pemerintahan, seperti : hak angket, hak budget, hak interplasi, hak amandemen dan hak-hak lainnya.

Untuk mengukur suatu negara demokratis atau tidak, harus diukur dari batasan atau dari definisi operasi dari demokrasi, bukan definisi konsep dari demokrasi itu.

Sudah menjadi fakta sejarah demokrasi di Indonesia yang ada selama ini serasa jauh dari ruh atau tondi dari demokrasi itu sendiri. Hal ini dapat diketahui dari : 1. Partisipasi rakyat dapat dibeli dengan uang ; 2. Pemilu dari masa kemasa penuh dengan kecurangan ; 3. Pamer kekuatan massa menjadi kebanggaan dari banyak partai-partai politik untuk melakukan tekanan-tekanan ; 4. Saat bangsa ini atau tokoh-tokokh politik berbeda pendapat di dalam bermusyawarah atau bernegosiasi maka perbedaan tersebut menjadi bibit permusuhan ; 5. hak-hak DPR sebagai mekanisme kontrol terhadap Pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya ; 6. Cita-cita jadi anggota Legislatif tidak diragukan apakah didasarkan pada Nasionalisme yang bertujuan akan memperjuangkan cita-cita bangsa ini sebagaimana terdapat di dalam alinea ke IV Pembukaan UUD 1945 ;

Cita-cita bangsa dan Nasionalisme inilah yang harus diperjuangkan dan ditegakkan para sang Caleg jika ia nantinya menjadi anggota Legislatif di Parlemen. Sedangkan seperti kita ketahui kebanyakan dari anak bangsa ini ingin jadi anggota legislatif hanya sekedar mencari prestige atau gengsi sosial, sehingga kebanyakan dari mereka setelah kekuatan dan modal dikerahkan sang Caleg sekedar untuk menjadi anggota legislatif dan jika gagal tentu tidak sedikit pula yang menderita stress bahkan menderita sakit jiwa.Tidak berlebihan kalau iman dan taqwa para calon pemimpin bangsa ini perlu diragukan atau bahkan mungkin cara berpikir bangsa ini memang sudah pada sakit, sehingga tidak faham bagaimana kita hidup berbangsa dan bernegara. Mungkin juga banyak yang tidak faham bahwa ikut dalam partai politik sesungguhnya dia sedang membawa misi ideologi yang harus diperjuangkan untuk membuat bangsa ini makmur dan bermartabat. Bahkan mungkin juga kita tidak lagi memiliki ikatan batin sebagai sebuah bangsa yang besar atau juga kita sudah kehilangan jejak bagaimana menghormati sejarah luhur perjuangan bangsa ini dari terhina akibat penjajahan menjadi bangsa yang merdeka yang mana semua itu dibayar dengan darah, nyawa dan air mata para Pejuang kemerdekaan bangsa ini.

Kita sekarang memang tidak lagi dijajah oleh bangsa asing, namun tidak dapat dipungkiri kita saat ini dijajah oleh bangsa sendiri yang terkotak-kotak dalam ikatan primordialisme yang dampaknya jauh lebih kejam dari penjajahan bangsa asing itu sendiri.

Untuk menyelamatkan semua ini kita harus bangkit dan mengenal sejarah dan cita-cita bangsa ini serta menjalankan demokrasi Pancasila yang sudah disepakati serta mengedepankan Iman dan Taqwa, Kemnusiaan dan Nasionalisme dalam budaya prilaku kita berpolitik dan berdemokrasi ketika kita ingin mendapatkan kekuasaan yang sah demi mewujudkan cita-cita bangsa ini ke depan.

Namun dalam proses itu semua harus dilakukan melalui koridor Penegakan Hukum Yang Baik dan tersedianya Sumber Daya Manusia yang baik dalam penegakan hukum (Law Enforcement) yang diiringi terbangunnya budaya prilaku bangsa Indonesia untuk selalu patuh dengan hukum setiap harinya, apalagi pada saat kita melaksanakan pesta demokrasi.

Fakta yang ada adalah, bangsa ini miskin pendidikan, miskin partisipasi politik karena hak suaranya telah dibeli, miskin keamanan dan kebebasan dalam hidup rukun berdampingan dan miskin keadilan serta miskin kepastian hukum dalam hidup berbangsa dan bernegara apalagi pada setiap penyelenggaraan Pemilu. Rakyat yang miskin bukanlah hal yang ideal untuk diajak berdemokrasi, apalagi ditengah carut-marutnya penegakan hukum, maka dalam situasi seperti ini mustahil tujuan negara Indonesia dapat tercapai dengan baik, mustahil demokrasi dan pemilu berjalan mulus tanpa ada kecurangan. Bahkan pembangunan cenderung berdampak sebaliknya yaitu membuat rakyat semakin miskin, merusak system dan prilaku sosial dan merusak lingkungan hidup serta merajalelanya budaya korupsi yang semakin sulit dicegah. Bukankah fakta yang ada, dimana Indonesia dikenal sebagai sebuah negara dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, namun rakyatnya miskin ditengah-tengah kekayaannya. Ironis !!

Penulis, Advokat dari Kantor Hukum LHS & Partners
( www.kantorhukum-lhs.com )

FENOMENA DISKRESI VS KORUPSI

Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.

Menurut Penulis, Diskresi adalah kebijakan dari pejabat yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan dimana undang-undang belum mengaturnya secara tegas, dengan tiga syarat. yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).

Sedang Pakar hukum Administrasi Negara UI, Prof. Benyamin Hossein mendefinikan “Diskresi, adalah kebebasan Pejabat dalam mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri”. Sedang menurut DR.T.Gayus Lumbuun,SH., MH., “Diskresi adalah, kebijakan dari pejabat negara dari pusat sampai daerah yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan UU, dengan tiga syarat. Yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik” dan penulis tidak sependapat dengan pendapat bung Gayus tersebut.

Terkait dengan diskresi, memang batasan diskresi sampai saat ini masih kurang jelas,kurang tegas, alias abu-abu banyak kontraversial antara satu dengan lainnya, sehingga hak diskresi ini sangat berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi dalam bentuk gratifikasi.

Penulis sepakat Diskresi memang diperlukan karena lingkup aturan tidak menjangkau secara komprehensif dan detail bagaimana setiap Pejabat dapat menjalankan tugas, wewenang dan tanggungjawabnya di lapangan, sehingga diperlukan ada pertimbangan dan kebijakan subyektif dari Pejabat publik bersangkutan demi kelancaran tugas-tugasnya. UUD 1945 tidak memuat ketentuan yang melarang pemberian diskresi. Namun dalam praktiknya tidak sedikit Pejabat cenderung menyalahgunakan hak diskresi yang dimilikinya, terutama pada Pejabat Penegak Hukum baik di tingkat Penyidik POLRI, maupun ditingkat Penyidik Kejaksaan. Sebagai contoh bagaimana diskresi digunakan dalam mensikapi pasal 31 ayat (1) juncto pasal 21 ayat (1) dan ayat (4) KUHAP Juncto pasal 35 dan 36 PPRI No.27 Tahun 1983 tentang Palaksanaan KUHAP.

Adanya alasan subyektif memang memberikan diskresi atau keleluasaan pada pihak penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk mengabulkan atau tidak mengabulkan permohonan keberatan atas dilakukan penahanan terhadap diri tersangka atau terdakwa, atau menyangkut adanya permohonan penangguhan atau pengalihan jenis penahanan terhadap diri tersangka/terdakwa. Karena kegunaan penahanan telah diatur dalam pasal 20 ayat (1), (2) dan (3) KUHAP dan dengan memperhatikan pasal 31 ayat (1) KUHAP pejabat bersangkutan dapat melakukan penangguhan dengan atau tanpa jaminan uang atau orang dengan syarat yang ditentukan. Namun dalam praktiknya walaupun secara hukum telah memenuhi syarat, belum tentu permohonan dari keluarga tersangka atau Penasihat Hukumnya tentang penangguhan atau pengalihan jenis penahanan tersangka atau terdakwa yang disertai adanya jaminan dapat dikabulkan begitu saja oleh Pejabat bersangkutan. Karena Pejabat bersangkutan punyak hak diskresi untuk menafsirkan sendiri baik untuk menolak atau mengabulkannya.

Kalau untuk pejabat publik lainnya Asas-asas Umum Pemerintahan yang baik (AUPB) dapat sebagai ukuran digunakannya hak diskresi, namun bagi Pejabat POLRI, diskresi ada dasar hukumnya dan ini dapat dilihat dalam UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian dan UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP. Dalam pasal 15 ayat (2) huruf k Jo. Pasal 16 ayat (1) huruf l disebutkan, ”Dalam rangka menyelenggarakan tugas di bidang proses pidana, POLRI berwenang untuk mengadakan tindakan lain dalam bentuk tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan sbb : a) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum ; b) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan ; c) harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya ; d) pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa ; dan e) menghormati hak asasi manusia. Hak diskresi juga terdapat dalam pasal 18 ayat (1) dan (2) UU No.2 tahun 2002 yang menyebutkan, untuk kepentingan umum Pejabat POLRI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri, yang dilakukan dalam keadaan sangat perlu dengan memperhatikan peraturan dan perundang-undangan, serta kode etik profesi POLRI.

Tindakan diskresi dapat dianggap sebagai tindak pidana korupsi apabila Pejabat bersangkutan mendapatkan atau menjanjikan akan mendapatkan hadiah atau keuntungan yang berupa uang ataupun barang yang berkaitan dengan tugas, jabatan ataupun kewenangannya.

Penulis adalah Advokat di Kantor Hukum LHS & Partners (www.kantorhukum-lhs.com)