Breaking News

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 21 November 2010

EIGENRICHTING SEBUAH MEGATREND

Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.


Fenomena umum bagi setiap orang untuk mendapatkan sesuatu sebenarnya ada dua cara, yang pertama dengan cara atau jalur "hukum" dan yang kedua dengan cara atau jalur "kekerasan". Jika dengan jalur hukum orang mengalami frustrasi maka mereka cenderung menggunakan cara yang kedua. Cara yang sah untuk memperjuangkan "hak" bagi setiap warga negara adalah berjuang melalui jalur hukum. Hukum adalah rule of the game bagi semua interaksi manusia dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Supaya masyarakat menghormati hukum tidak dapat tidak hukum itu haruslah berwibawa agar dapat dipatuhi oleh semua warganegara. Namun dalam kenyataannya banyak masyarakat kita cenderung tidak patuh pada hukum karena wibawa hukum "tidak ada". Wibawa hukum sebagian besar terletak pada "komitmen, konsistensi dan kontinuitas" para Penegak Hukum dalam proses penegakan hukum itu sendiri. Seperti orang bijak berkata : "sebaik-baik hukum yang dibuat dan diberlakukan disuatu negara jika para Penegak Hukumnya brengsek maka artinya sama dengan brengseknya hukum itu sendiri".

Dalam kenyataannya dapat dibayangkan kalau "hukum" tidak lagi memberikan kepastian bagi seseorang untuk memperoleh keadilan yang menjadi haknya, dan/atau kalau "hukum" tidak lagi dapat dipercaya sebagai cara efektif untuk mengatur kehidupan bersama yang dapat memberikan rasa aman dan ketenteraman masyarakat, maka dapat dipastikan masyarakat akan cenderung menggunakan cara yang kedua yaitu dengan menggunakan "kekerasan" yang nota bene dengan cara main hakim sendiri ( eigenrichting ). Sebagai illustrasi kasus dapat kita segarkan kembali ingatan kita pada peristiwa hukum main hakim sendiri, antara lain : Perististiwa Pembunuhan dukun santet di Jawa-Timur, lebih kurang 200 orang dieksekusi mati tanpa proses hukum ; Konflik di Sambas dan Poso di Sulawesi ; Kerusuhan di Maluku ; Kekerasan di NAD ; Pengrusakan beberapa toko, kios dan rumah oleh mereka yang diketahui berpakaian ala ninja ; kekerasan yang dilakukan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas atas dasar SARA ; tawuran antar kelompok mahasiswa, antar kampung dan yang paling pahit dan memalukan untuk dikenang adalah perkelahian antara sesama anggota DPR RI pada pembukaan sidang tahunan 2001 pada tanggal 01 Nopember 2001 yang langsung disaksikan oleh ratusan juta rakyat Indonesia melalui layar kaca. Banyak lagi peristiswa senada yang tidak bisa kita paparkan satu demi satu. Intinya adalah budaya main hakim sendiri agaknya telah menjadi "megatrend" dalam masyarakat kita. Dan ini belum termasuk bagi mereka yang menghakimi harta kekayaan negara (para koruptor) yang merupakan sisi gelap lainnya yang menjadi budaya pula di negara kita. Dan juga belum termasuk bagi oknum para Penegak Hukum yang telah menghakimi tersangka terlebih dahulu sebelum menyerahkannya kepada Hakim beneran ; Main hakin sendiri mempunyai konotasi bahwa siapa yang kuat dia yang menang, jadi lebih mengarah pada substansi pengertian hukum rimba. Bila suatu negara dalam kehidupan masyarakatnya lebih dominan berlaku hukum rimba ketimbang hukum normatif yang legal formal maka masyarakat tersebut akan cenderung tunduk kepada kelompok-kelompok atau perorangan yang mempunyai kekuatan phisik, seperti kelompok tertentu yang mempunyai basis massa yang kuat atau kelompok-kelompok premanisme. Apalagi setiap menjelang Pemilu jika tidak segera diantisipasi dapat dipastikan setiap persoalan yang muncul dalam Pemilu akan cenderung diselesaikan dengan cara-cara yang berbau kekuatan phisik. Agaknya main hakim sendiri melalui kekuatan phisik sudah menjadi megatrend dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik dalam kehidupan sosial-politik yang lebih mengandalkan "kekuatan phisik" atau berorientasi pada basis massa yang kuat dalam mencapai tujuan-tujuan politiknya ketimbang menjual program politiknya. Sedang dalam kehidupan sosial ekonomi ditandai dengan banyaknya muncul "debt kolektor" dan/atau menggunakan kelompok-kelompok tertentu yang mempunyai kekuatan phisik yang ditakuti ketimbang menyelesaikan masalah ekonominya melalui negosiasi dan hukum. Semua penomena tersebut menunjukkan bahwa kelompok masyarakat kita cenderung menyiapkan kekuatan phisik sebagai langkah antisipasi dalam menyelesaikan setiap masalahnya ketimbang menggunakan jalur hukum yang mereka nilai tidak efektif.

Budaya main hakim sendiri pada perkembangannya akan melahirkan cara-cara lain seperti teror baik dengan sasaran psikologis maupun phisik, atau yang lebih halus seperti intimidasi, pembunuhan karakter dan lain sebagainya. Maka dalam membangun masarakat madani yang sadar dan patuh pada hukum kita harus secepatnya membangun moral force (kekuatan moral) yang dimulai dari para Penegak Hukum dan para Pembuat Undang-undang, dan tentu agar hukum harus dipatuhi oleh masyarakat, pemerintah harus berani menindak tegas bagi setiap anggota / kelompok masyarakat yang main hakin sendiri.

Memang hal itu tidaklah mudah karena budaya main hakim sendiri masih sering terjadi pula di kalangan para Penegak Hukum dan Elite Politik. Inilah suatu problema dilematis kronis yang sedang dihadapi bangsa ini. Yang pasti jangan biarkan kita mempertanyakan masalah penegakan hukum dan budaya main hakim sendiri yang sering terjadi kepada rumput yang bergoyang. ----


“ A D V O K A S I “

Oleh : Drs.M. SOFYAN LUBIS, SH.


 

Secara awam banyak difahami oleh masyarakat pengertian "advokasi" pasti berkaitan dengan tugasnya soseorang yang berprofesi sebagai advokat, dalam konteks ini advokat diartikan adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum dalam rangka melakukan pembelaan, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang advokat (vide UU No.18 tahun 2003 tentang Advokat). Sehingga tidak heran banyak para advokat juga mengartikan "advokasi" adalah sebagai bagian tugas dalam upaya pembelaan hukum terhadap hak-hak hukum kliennya. Begitu juga pengertian advokasi yang ada dibeberapa Lembaga Bantuan Hukum (LBH), semula program advokasi di LBH-LBH yang ada dititik-beratkan pada program pembelaan hukum yang dilakukan di pengadilan saja sebagai salah satu ciri khasnya, sehingga "advokasi" dimaknai sebagai kegiatan pembelaan di ruang-ruang pengadilan dalam rangka mencari keadilan serta menegakkan hak-hak hukum mereka yang dibela oleh pihak LBH, dan bidang yang menangani advokasi di LBH bersangkutan biasanya disebut dengan bidang Litigasi . Di Lembaga Bantuan Hukum atau LBH dulunya bidang advokasi merupakan bidang Litigasi yang lebih khusus diartikan sebagai upaya bantuan hukum yang diberikan secara cuma-cuma kepada masyarakat kurang mampu secara ekonomi, dan biasanya perkara yang ditangani adalah perkara struktural.

Di dalam perkembangannya advokasi tidak lagi difahami sebagai suatu upaya pembelaan hukum diruang pengadilan dalam rangka mencari keadilan, ruang pengadilan tidak lagi satu-satunya tempat untuk mewujudkan keadilan apalagi telah menjadi rahasia umum pengadilan yang koruptif justru menjadi tempat dan sumber ketidakadilan itu sendiri (political stage). Di samping itu berangkat dari fakta-fakta sosial tentang banyak terjadi ketimpangan sosial, ketidak-adilan sosial, keterbelakangan sosial di tengah masyarakat Indonesia, dimana diketahui akar masalah terjadinya ketidakadilan, keterbelakangan dan ketimpangan sosial itu selalu bersumber dari beberapa indikator yang antara lain ; terhambatnya mekanisme keputusan politik atau kebijakan public service yang kurang memihak kepada rakyat banyak, kurang dihormatinya hak-hak asasi manusia, hak sipil-politik, hak ekonomi, hak sosial dan budaya, partisipasi politik rakyat banyak tidak terakomodir dengan baik dalam pengambilan keputusan politik dan kebijakan-kebijakan pemerintah, sehingga kesemua itu pada gilirannya membuat kehidupan berbangsa dan bernegara tidak demokratis. Atas dasar ini "advokasi" memiliki dimensi pengertian yang sangat luas, bahkan pengertiannya sangat tergantung pada situasi secara kontekstual. Dalam konteks ini "advokasi" dapat diartikan: sebagai segala upaya legal yang sistematis dan terorganisir baik itu dalam mempengaruhi dan mensosialisasikan nilai-nilai yang bermanfaat bagi rakyat banyak sehingga terjadi perubahan prilaku dan kemampuan masyarakat luas untuk melakukan dan memperjuangkan seluruh hak-haknya secara mandiri, maupun segala upaya yang ditujukan kepada pemerintah dan/atau kepada semua -pihak yang menguasai hajat hidup orang banyak agar mengubah kebijakan, system dan program yang ada demi terciptanya keadilan sosial yang demokratis.

Berangkat dari pengertian "advokasi" ini, advokasi bukan lagi sekedar pembelaan hukum yang dilakukan di ruang pengadilan untuk mewujudkan keadilan, advokasi merupakan suatu pembelaan terhadap hak-hak asasi manusia, hak sipil-politik, hak ekonomi, sosial dan budaya yang secara konprehensif diperjuangkan melalui akar masalahnya. Karena advokasi disini dilakukan secara sistematis dan terorganisir, maka advokasi merupakan kerja dari koalisi dari sumber daya manusia yang kapabel, mempunyai rumusan tujuan dan sasaran yang jelas, harus mempunyai data dan informasi baik kuantitatif maupun kualitatif dari semua aspek sasaran terkait, mempunyai paket-paket pesan yang jelas untuk disampaikan kepada sasaran dan seluruh pihak terkait, melakukan evaluasi agar ditemukan cara yang lebih tepat dalam mencapai target advokasi; dan yang tidak kalah pentingnya upaya advokasi harus memiliki dana yang cukup untuk mengoperasionalkan program-programnya, oleh karenanya advokasi harus mempunyai konsep yang menyangkut legitimasi, dan ini merujuk terhadap apa dan siapa yang diwakili supaya didengar oleh masyarakat dan pemerintah ; mempunyai kredibilitas dan ini merujuk pada hubungan baik antara organisasi dengan konstituennya agar advokasi dapat dipercaya ; mempunyai kekuasaan sebagai modal untuk bargaining dan ini biasanya merujuk pada jumlah orang yang dapat dimotivasi ; dan memiliki akuntabilitas, yaitu bentuk pertanggungjawaban kepada publik khususnya yang diwakilinya karena pertanggungjawaban itu memang merupakan hak mereka ; Advokasi sangat diperlukan dalam masyarakat kita agar nilai-nilai pembangunan dapat diserap dengan baik sehingga terbangun manusia Indonesia seutuhnya yang bermartabat yang mengerti hak dan kewajibannya sebagai warganegara dalam iklim yang sehat dan demokratis. Disini, peran dari LBH-LBH dan/atau LSM-LSM sangatlah besar, karena merekalah yang begittu concern dalam melakukan upaya advokasi.---------------

==========================

Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.

( Advokat, Sekretaris PERADI Bantul dan Pendiri LBH Konsumen & Kesehatan )

Sabtu, 20 November 2010

Pesan Sang Ayah Kepada Anaknya

  • Written by beritaku
  • Posted August 19, 2008 at 7:55 pm, update now

Untuk jadi bahan renungan kita semua…

Dahulu kala ada 2 orang kakak beradik. Sebelum meninggal, ayah mereka berpesan dua hal :
1. Jangan menagih hutang kepada orang yang berhutang kepadamu
2. Jika mereka pergi dari rumah ke toko jangan sampai mukanya terkena sinar matahari.

Waktu berjalan terus. Dan kenyataan terjadi, bahwa beberapa tahun setelah ayahnya meninggal anak yang sulung bertambah kaya sedang yang bungsu menjadi semakin miskin.
Ibunya yang masih hidup menanyakan hal itu kepada mereka.

Jawab anak yang bungsu :
Inilah karena saya mengikuti pesan ayah. Ayah berpesan bahwa saya tidak boleh menagih hutang kepada orang yang berhutang kepadaku, dan sebagai akibatnya modalku susut karena orang yang berhutang kepadaku tidak membayar sementara aku tidak boleh menagih. Juga ayah berpesan supaya kalau saya pergi atau pulang dari rumah ke toko dan sebaliknya tidak boleh terkena sinar matahari. Akibatnya saya harus naik becak atau andong. Sebetulnya dengan jalan kaki saja cukup, tetapi karena pesan ayah demikian maka akibatnya pengeluaranku bertambah banyak.

Kepada anak yang sulung yang bertambah kaya, sang ibupun bertanya hal yang sama.

Jawab anak sulung :
Ini semua adalah karena saya mentaati pesan ayah. Karena ayah berpesan supaya saya tidak menagih kepada orang yang berhutang kepada saya, maka saya tidak menghutangkan sehingga dengan demikian modal tidak susut. Juga ayah berpesan agar supaya jika saya berangkat ke toko atau pulang dari toko tidak boleh terkena sinar matahari, maka saya berangkat ke toko sebelum matahari terbit dan pulang sesudah matahari terbenam. Akibatnya toko saya buka sebelum toko lain buka, dan tutup jauh sesudah toko yang lain tutup. Sehingga karena kebiasaan itu, orang menjadi tahu dan tokoku menjadi laris, karena mempunyai jam kerja lebih lama.

Bagaimana dengan anda??

Kisah diatas menunjukkan bagaimana sebuah kalimat ditanggapi dengan presepsi yang berbeda jika kita melihat dengan positive attitude maka segala kesulitan sebenarnya adalah sebuah perjalanan membuat kita sukses tetapi kita bisa juga terhanyut dengan adanya kesulitan karena rutinitas kita.. pilihan ada di tangan kita.
a. Berusaha melakukan hal biasa yang dikerjakan dengan cara yang luar biasa.
b. Mengubah diri Anda sendiri, biasanya merupakan cara terbaik untuk merubah orang.

(sumber : blog beritaku)

Jumat, 19 November 2010

"Mempertanyakan Idealisme Penegakan Hukum Kita"


 

Drs. M. Sofyan Lubis, SH.


Faham tentang cita-cita penegakan hukum di Indonesia, sebenarnya tidak lari dari substansi nilai-nilai Pancasila, yang salah satunya adalah, "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Keadilan telah sejak zaman Yunani merupakan cita-cita hukum tertinggi. Tentang apakah makna dan batasan tentang "Keadilan" itu, sampai saat ini tampaknya belum ada satu definisi pun yang merepresentasi telah diakui dan diterima sumua pihak tentang apa batasan "keadilan" itu; bahkan relativitas keadilan memunculkan pendapat, bahwa "keadilan tertinggi itu adalah ketidak-adilan tertinggi". 

Jika berpijak kepada pendapat ini, jelas kiranya kita sangat skeptis terhadap apa yang sedang dikerjakan oleh seluruh pengadilan di semua negara, termasuk Indonesia. Apalagi kita ketahui dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia, para penegak hukumnya jarang konsisten tentang apa arti pentingnya hukum itu ditegakkan. 

Sungguhpun ada yang tahu betul, dalam praktiknya mereka pura-pura tidak tahu, bahkan "tidak mau tahu" perlunya hukum ditegakkan, sehingga praktiknya terdapat jurang perbedaan antara dassein dengan dassollen, atau antara keharusan dengan kenyataan, atau antara idealita dengan realita tentang proses dan tujuan penegakan hukum itu sendiri.
Sehingga budaya penegakan hukum di Indonesia bersifat oportunis, hypokrit dan tidak akuntabel. Penegakan hukum yang akuntabel dapat diartikan sebagai suatu upaya pelaksanaan penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, bangsa dan negara yang berkaitan terhadap adanya kepastian hukum dalam sistem hukum yang berlaku.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan, sehingga muncul stigma adanya "Mafia Peradilan" (baca : bukan mafia pengadilan). Karena budaya penegakan hukum yang rusak yang mengakar dari lemahnya iman dan taqwa serta ekonomi Penegak Hukum. Bahkan ternyata tanpa disadari "masyarakat" ikut berperan atas rusaknya penegakan hukum di Indonesia. Salah satu penyebab ialah masyarakat kita lebih menyenangi proses penyelesaian hukum yang serba instan sehingga tidak segan-segan mengeluarkan uang untuk "menyuap" penegak hukum asal masalahnya cepat selesai. Dan anehnya "masyarakatpun" malah mempersoalkan adanya "suap-menyuap" dalam penegakan hukum, padahal masyarakat sudah sangat terbiasa bagaimana mengatasinya jika terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukannya, apakah itu bentuk pelanggaran lalu-lintas, penyuapan agar kasusnya menang di pengadilan atau melakukan delik-delik umum, atau melakukan tindak pidana korupsi, tidak menjadi masalah lagi dimana sebagian besar masyarakat kita telah sangat hapal bagaimana mempengaruhi proses hukum yang berjalan agar ia dapat terlepas dari jerat hukum.

Kenyataan ini merupakan salah satu indikator buruknya kebudayaan dan prilaku hukum di negeri ini.


Kita perlu membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel dan kebudayaan hukum dengan titik fokus membangun prilaku hukum, antara lain :
1). Penyempurnaan atau memperbaharui serta melengkapi perangkat hukum dan perundang-undangan yang ada ;
2) Ditingkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Penegak Hukum baik dari segi moralitas, intelektualitasnya, dan kesejahteraan ;
3). Dibentuknya suatu lembaga pengawas penegakan hukum di Indonesia yang independen yang dapat memberi merekomendasi tentang sanksi bagi penegak hukum yang nakal, dan melanggar Hak Asasi manusia (HAM) ;
4) Dilakukannya sosialisasi hukum dan perundang-undangan secara intensif kepada masyarakat luas dan membangun kebudayaan hukum yang tercermin dari prilaku hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat sebagai konsekuensi asas hukum yang mengatakan bahwa ; "setiap masyarakat dianggap tahu hukum" ;
5) Membangun tekad (komitmen) bersama dari para penegak hukum yang konsisten. Komitmen ini diharapkan dapat lahir terutama yang dimulai dan diprakarsai oleh "Catur Wangsa" atau 4 unsur Penegak Hukum, yaitu : Hakim, Advokat, Jaksa dan Polisi, kemudian komitmen tersebut dapat dicontoh dan diikuti pula oleh seluruh lapisan masyarakat ;
Namun usul langkah-langkah di atas untuk membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel tentu tidak dapat berjalan mulus tanpa ada dukungan penuh dari Pemerintahan yang bersih ('clean government'), karena penegakan hukum ('law enforcement') adalah bagian dari sistem hukum pemerintahan. Pemerintahan negara ( 'lapuissance de executrice') harus menjamin kemandirian institusi penegak hukum yang dibawahinya dalam hal ini institusi "Kejaksaan" dan "Kepolisian" karena sesungguhnya terjaminnya institusi penegakan hukum merupakan platform dari politik hukum pemerintah yang berupaya mengkondisi tata-prilaku masyarakat Indonesia yang sadar dan patuh pada hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penegakan hukum yang akuntabel merupakan dasar dan bukti bahwa Indonesia benar-benar sebagai Negara Hukum ( 'rechtsstaat' ). Di samping itu rakyat harus diberitahu kriteria / ukuran yang dijadikan dasar untuk menilai suatu penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik guna menciptakan budaya kontrol dari masyarakat, tanpa itu penegakan hukum yang baik di Indonesia hanya ada di dunia maya.


 

Penulis : seorang Advokat & Pengamat Sosial


 


 

"Mempertanyakan Idealisme Penegakan Hukum Kita"


 

Drs. M. Sofyan Lubis, SH.


Faham tentang cita-cita penegakan hukum di Indonesia, sebenarnya tidak lari dari substansi nilai-nilai Pancasila, yang salah satunya adalah, "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Keadilan telah sejak zaman Yunani merupakan cita-cita hukum tertinggi. Tentang apakah makna dan batasan tentang "Keadilan" itu, sampai saat ini tampaknya belum ada satu definisi pun yang merepresentasi telah diakui dan diterima sumua pihak tentang apa batasan "keadilan" itu; bahkan relativitas keadilan memunculkan pendapat, bahwa "keadilan tertinggi itu adalah ketidak-adilan tertinggi". 

Jika berpijak kepada pendapat ini, jelas kiranya kita sangat skeptis terhadap apa yang sedang dikerjakan oleh seluruh pengadilan di semua negara, termasuk Indonesia. Apalagi kita ketahui dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia, para penegak hukumnya jarang konsisten tentang apa arti pentingnya hukum itu ditegakkan. 

Sungguhpun ada yang tahu betul, dalam praktiknya mereka pura-pura tidak tahu, bahkan "tidak mau tahu" perlunya hukum ditegakkan, sehingga praktiknya terdapat jurang perbedaan antara dassein dengan dassollen, atau antara keharusan dengan kenyataan, atau antara idealita dengan realita tentang proses dan tujuan penegakan hukum itu sendiri.
Sehingga budaya penegakan hukum di Indonesia bersifat oportunis, hypokrit dan tidak akuntabel. Penegakan hukum yang akuntabel dapat diartikan sebagai suatu upaya pelaksanaan penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, bangsa dan negara yang berkaitan terhadap adanya kepastian hukum dalam sistem hukum yang berlaku.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan, sehingga muncul stigma adanya "Mafia Peradilan" (baca : bukan mafia pengadilan). Karena budaya penegakan hukum yang rusak yang mengakar dari lemahnya iman dan taqwa serta ekonomi Penegak Hukum. Bahkan ternyata tanpa disadari "masyarakat" ikut berperan atas rusaknya penegakan hukum di Indonesia. Salah satu penyebab ialah masyarakat kita lebih menyenangi proses penyelesaian hukum yang serba instan sehingga tidak segan-segan mengeluarkan uang untuk "menyuap" penegak hukum asal masalahnya cepat selesai. Dan anehnya "masyarakatpun" malah mempersoalkan adanya "suap-menyuap" dalam penegakan hukum, padahal masyarakat sudah sangat terbiasa bagaimana mengatasinya jika terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukannya, apakah itu bentuk pelanggaran lalu-lintas, penyuapan agar kasusnya menang di pengadilan atau melakukan delik-delik umum, atau melakukan tindak pidana korupsi, tidak menjadi masalah lagi dimana sebagian besar masyarakat kita telah sangat hapal bagaimana mempengaruhi proses hukum yang berjalan agar ia dapat terlepas dari jerat hukum.

Kenyataan ini merupakan salah satu indikator buruknya kebudayaan dan prilaku hukum di negeri ini.


Kita perlu membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel dan kebudayaan hukum dengan titik fokus membangun prilaku hukum, antara lain :
1). Penyempurnaan atau memperbaharui serta melengkapi perangkat hukum dan perundang-undangan yang ada ;
2) Ditingkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Penegak Hukum baik dari segi moralitas, intelektualitasnya, dan kesejahteraan ;
3). Dibentuknya suatu lembaga pengawas penegakan hukum di Indonesia yang independen yang dapat memberi merekomendasi tentang sanksi bagi penegak hukum yang nakal, dan melanggar Hak Asasi manusia (HAM) ;
4) Dilakukannya sosialisasi hukum dan perundang-undangan secara intensif kepada masyarakat luas dan membangun kebudayaan hukum yang tercermin dari prilaku hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat sebagai konsekuensi asas hukum yang mengatakan bahwa ; "setiap masyarakat dianggap tahu hukum" ;
5) Membangun tekad (komitmen) bersama dari para penegak hukum yang konsisten. Komitmen ini diharapkan dapat lahir terutama yang dimulai dan diprakarsai oleh "Catur Wangsa" atau 4 unsur Penegak Hukum, yaitu : Hakim, Advokat, Jaksa dan Polisi, kemudian komitmen tersebut dapat dicontoh dan diikuti pula oleh seluruh lapisan masyarakat ;
Namun usul langkah-langkah di atas untuk membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel tentu tidak dapat berjalan mulus tanpa ada dukungan penuh dari Pemerintahan yang bersih ('clean government'), karena penegakan hukum ('law enforcement') adalah bagian dari sistem hukum pemerintahan. Pemerintahan negara ( 'lapuissance de executrice') harus menjamin kemandirian institusi penegak hukum yang dibawahinya dalam hal ini institusi "Kejaksaan" dan "Kepolisian" karena sesungguhnya terjaminnya institusi penegakan hukum merupakan platform dari politik hukum pemerintah yang berupaya mengkondisi tata-prilaku masyarakat Indonesia yang sadar dan patuh pada hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penegakan hukum yang akuntabel merupakan dasar dan bukti bahwa Indonesia benar-benar sebagai Negara Hukum ( 'rechtsstaat' ). Di samping itu rakyat harus diberitahu kriteria / ukuran yang dijadikan dasar untuk menilai suatu penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik guna menciptakan budaya kontrol dari masyarakat, tanpa itu penegakan hukum yang baik di Indonesia hanya ada di dunia maya.


 

Penulis : seorang Advokat & Pengamat Sosial


 


 

Jumat, 22 Oktober 2010

"15 Ciri Lelaki Berbakat Kaya"

Oleh : Yustus Didi Riyadi


Wahai Sobatku yang Bijak apa kabar? maaf baru kali ini saya bisa berbagi kembali, karena kesibukan yang super ini. Namun ditengah itu saya ingin terus berbagi pada sobat semua khususnya sekarang kepada temen-temen cewek nih. Jika Sobat cewek dalam waktu deket ini hendak ingin menikah atau memang lagi cari cowok... beberapa ciri dibawah ini bisa dijadikan referensi untuk dijadikan pertimbangan dalam hal memilihnya sebagai pasangan hidup. dan untuk para cowok moga2 ciri2 dibawah ini membantu anda semua termasuk saya untuk sedikitnya tahu bahwa ada 15 ciri-ciri yang ternobatkan jika kita menjadi orang yang punya bakat kaya. Tentunya dalam hal ini sekali lagi, kekayaan disini boleh dipandang secara positif saja yah....

Tidak sulit mencari lelaki kaya. Tapi tidak mudah menemukan lelaki yang pantas Anda cintai sekaligus membuat Anda tidak akan jadi “kaum duafa”. Sebelum memutukan menikah dengannya, lihat dulu apakah dia punya 10 dari 15 ciri ini.

1. BEBERAPA REKENING

Lihat apakah kekasih Anda punya rekning bank lebih dari satu. Ini bisa jadi indikasi dia berbakat kaya. Karena, biasanya orang yang punya rekening tabungan dua atau lebih cenderung berusaha mengatur uangnya dengan benar. Lelaki tipe ini memisahkan pos-pos pnghasilannya. Misal, satu rekening digunakan hanya untuk menerima transfer gaji dan belanja, rekening lainnya untuk tabungan.

2. SUKA MENOLONG

Tidak tepat jika orang yang suka menimbun harta, pelit, serta enggan berbagi dan memberi adalah orang yang berbakat kaya. Justru lelaki yang mudah tergerak hatinya dan gampang menolong oranglah yang pantas Anda lirik. Dia adalah tipe orang yang akan relatif mudah hidupnya. Entah bagaimana caranya, Anda berdua akan sangat jarang kesulitan uang. Dan yang terpenting, kenikmatan memberi itu memang tak ada penggantinya.

3. PUNYA CITA-CITA

Jangan harap Si Dia berbakat kaya jika hidupnya dialirkan bagai sungai, entah hendak bermuara di mana. Lelaki yang berbakat kaya selalu punya rencana besar dalam hidupnya. Ada sesuatu di masa depan yang hendak diraihnya. Untuk itu, dia akan punya rencana jangka pendek dan menengah untuk mencapai cita-citanya. Dalam bercita-cita, dia tidak takut ada mmpi yang tampaknya mustahil.

4. TAK BERHOBI SPESIFIK

Lelaki yang punya hobi spesifik cenderung menghabiskan uangnya untuk hobinya. Ini juga berlaku untuk lelaki yang hobi berbelanja. Tentu saja ada orang yang punya hobi spesifik punya urat kaya. Namun, toh tidak semua orang punya nasib bisa kaya begitu saja. Lelaki yang tidak punya hobi spesifik biasanya akan mengeluarkan uangnya untuk berbelanja berdasarkan mood. Dia cenderung merasa tidak punya kebutuhan spesifik, sehingga enggan membeli seusatu.

5. BUTA HARGA

Dia tidak tahu persis apa bedanya barang mahal atau murah. Buatnya, kemeja ya kemeja. Bentuknya seperti itu, ada ukurannya yang pas dan pantas dipakai ke kantor. Lelaki seperti ini tidak akan bermasalah dengan kemeja murahnya.

6. HIDUNG BISNIS

Apakah Anda pernah mendengar dia mengatakan (kurang lebih), “Ini bisa jadi peluang bisnis. Bisa dicoba.” Artinya, dia dapat melihat sesuatu, sekecil apa pun, sebagai sebuah peluang bisnis. Tiak banyak orang yang punya kemampuan seperti ini. Jadi, kalau dia kerap melontarkan komentar yang berhubungan dengan peluang bisnis, bisa jadi ia memang berbakat kaya.

7. PEKERJA KERAS

Punya hidung bisnis saja tidak cukup tanpa kerja keras. Ini yang membedakan seorang pemimpi kelas berat dengan pengejar mimpi. Seorang pengejar mimpi akan berusaha sekuatnya untuk mewujudkan cita-citanya. Tentunya itu dengan kerja keras.

8. KEAHLIAN KHUSUS

Perhatikan deh apakah Si Dia punya satu atau dua keahlian khusus. Misalnya, dia menguasai komputer dengan baik, pandai melobi, atau apa pun. Kemampuan khusus ini bisa jadi modal dia dalam menjalani hidupnya. Lelaki tipe ini cenderung survive dalam hidupnya.

9. BANYAK TEMAN

Temannya ada di mana-mana. Tidak hanya mantan teman-teman SMA, kuliah, atau kantor. Tapi juga dari komunitas lain, yang mungkin Anda tidak pernah duga sebelumnya. Orang yang banyak teman bisa diartikan punya networking yang cukup luas sehingga ditaruh di mana pun dia akan bisa hidup (dengan baik).

10. MEMELIHARA PERTEMANAN

Kadang Anda jengkel karena dia rajin menelepon atau SMS yang tidak penting ke teman-temannya. Just say hello saja bisa berkepanjangan. Mestinya Anda tidak perlu kesal karena ini adalah caranya untuk memelihara pertemanan. Orang boleh punya banyak teman, tapi jika dia tidak bisa memeliharanya, maka sia-sia saja.

11. MUDAH BERTEMAN

Hanya orang yang menyenangkan yang mudah berteman. Pergi ke tempat baru mana pun, dia bisa dengan mudah punya teman ngobrol. Ini menandakan dia orang yang terbuka, punya sense of humor, dan berwawasan cukup luas. Orang-orang seperti ini biasanya tidak sulit beradaptasi dengan lingkungan baru, termasuk jenis pekerjaan baru. Sehingga dia tidak perlu khawatir tidak punya pekerjaan yang baik.

12. PERCAYA DIRI

Dia tahu persis apa kelebihan dan kekurangannya, dan percaya orang lain pun begitu. Sehingga, dia tidak gentar ketika berinteraksi dengan orang lain, atau diharuskan melakukan sesuatu yang baru. Termasuk dia percaya bahwa dia bisa hidup layak hari ini atau esok lusa, bersama Anda.

13. FOKUS

Dalam melakukan apa pun, dia fokus. Perhatiannya tidak mudah terceraikan oleh hal lain. Orang yang fokus biasanya punya tanggung jawab yang baik. Ini berhubungan dengan bagaimana dia berusaha mencapai cita-citanya, menyelesaikan pekerjaannya, dan serius membangun hidup bersama Anda.

14. OPTIMIS

Hampir tidak pernah Anda mendengar, “Ah, susah”, Enggak bisa”, “Mustahil aku bisa melakukannya” , “Malas ah”, dan yang sejenisnya. Lelaki pesimis akan sulit survive dalam hidupnya. Keoptimisan bisa membuat seseorang mampu melakukan sesuatu yang secara hitungan di atas kertas sulit.

15. SEHAT

Lelaki penyakitan akan lebih banyak menghabiskan waktunya dengan tidak melakukan apa-apa.. Belum lagi ongkos dokter dan rumah sakit yang makin tidak masuk akal mahalnya. Uang Anda berdua bakal habis di sini. Selain itu, orang yang sehat akan bisa berpikir dengan lebih sehat. Jangan pernah terjebak pada penampilan luar dan mulutnya yang bilang, “Hidupmu terjamin sampai kapan pun Sayang.” Karena, yang terpenting Anda merasa nyaman hidup dengannya, dia bisa membuat hidup Anda berarti dan Anda bisa tertawa bersamanya

hehe.. semoga kita baik cewek atau cowok tetap positif dan selalu terus bersemangat dalam menjalankan hidup ini yang tentunya dengan bijak juga yah

Oke salam persahabatan

"MAKNA KERELAAN HATI"


Tak banyak orang memahami akan hal ini..
  • Apa yang dilakukan selalu berorientasi pada diri sendiri dan gelap kebutuhan orang lain..
    Manusia selalu ingin dipuaskan dalam menikmati segala sesuatunya..
    Terkadang tanpa memikirkan apa yang sedang dirasakan oleh orang lain..

    Saat melakukan apapun juga, maka yang ada di pikirannya hanya dirinya sendiri..
    Kalaupun ada orang lain yang meminta sesuatu darinya,
    Belum tentu dia menyanggupi dengan gembira dan senang..

    Kalau pun ada yang melakukannya seringkali ada pamrih dan imbalan atas apa yang diberikan..
    Sepertinya sulit untuk mendapatkan sebuah kerelaan yang lahir dari hati yang tidak egois..
    Dunia telah melatih kita untuk hanya hidup bagi dirinya sendiri..
    Kalaupun hidup dengan banyak orang, maka dialah yang harus diperhatikan terlebih dahulu..

    Namun tahukah kita, apabila hati ini terbiasa untuk berbagi dengan banyak orang..
    Pasti ada tambahan kesukaan dan sejahtera yang akan kita peroleh..
    Mungkin kita akan berkata ya apabila yang kubantu tahu diri dan berterima kasih..
    Pastinya hati ini menjadi senang dan merasa berharga apa yang kita kerjakan..
    Namun apabila yang dibantu tidak tahu diri dan berterima kasih maka hati ini bisa runyam..

    Mari kita lihat siapakah di dunia ini yang paling rela dengan diri kita ??
    Bukankah Pencipta kita yang senantiasa 24 jam rela untuk menjagai kita tanpa terlelap..
    Supaya hari-hari kita bisa dilewati dengan penuh kedamaian dan sukacita..
    Apakah Dia menuntut terlalu berlebihan manakala kita pun tidak tahu diri dan tidak tahu berterima kasih atas anugerah dan kebaikan-Nya..

    Bila kita mau belajar maka Pencipta mengajari kita untuk selalu punya hati yang rela dan ikhlas..
    Hati dipenuhi kesadaran bahwa kerelaan menimbulkan kedamaian dan ketenangan..
    Maukah kita belajar melihat kebaikan orang lain ketika berinteraksi dengan kita..
    Perjalanan hidup masih terbentang luas di hadapan kita dan waktunya tidak ada yang tahu batasnya..

    Bila ingin hidup ini bernilai, belajarlah untuk memiliki hati yang rela kepada siapapun juga..
    Sebab tak ada manfaat yang kita peroleh apabila hati ini tersedia hanya bagi diri sendiri..
    Tuhan menciptakan manusia untuk bisa saling berbagi dengan sesamanya..
    Mulailah dengan perkara sederhana dimana setiap hari berterima kasih dengan hembusan nafas yang kita hirup..

    Karena kerelaan… memberikan hidup menjadi lebih berharga dan bernilai bagi banyak orang…

"ANTARA SYUKUR DAN BENCANA"

Oleh : M. Sofyan Lubis.


Baik untuk direnungkan....!!

“Syukur” selama ini sering kali dimaknai dengan “terima kasih”, sehingga orang yang bersyukur diartikan orang yang pandai berterima kasih.

Seseorang merasa telah diberi rizki, nikmat dan karunia dari Tuhan, kemudian ia mengucapkan Alhamdulillah seringkali diartikan orang tersebut telah berterima kasih kepada Tuhan Sang Pemberi.

Apakah sesederhana itu makna “syukur” diartikan manusia ? Sebenarnya kalau kita kaji lebih jauh, makna “berterima kasih” atau ”bersyukur” tidaklah harus diartikan secara harfiah. Sesungguhnya manusia yang pandai bersyukur kepada Tuhan atas segala pemberian Nya, adalah manusia yang pandai ”memelihara” atas segala nikmat Tuhan baik yang ada dalam kekuasaannya maupun yang ada di Dunia.

Orang yang bersyukur mempunyai semangat memelihara, membangun, memimpin atas segala pemberian Tuhan sehingga nikmat Tuhan akan tumbuh dan semakin berkembang. Harta yang dimiliki oleh seseorang yang pandai bersyukur, maka harta itu akan terus berkembang dan memakmurkannya. Hutan dan sumber daya alam yang dimiliki oleh bangsa yang pandai bersyukur, maka hutan dan sumber daya alam tersebut akan memakmurkan bangsa tersebut. Sekarang kita lihat bangsa kita Indonesia, yaitu bangsa yang merusak hutan-hutannya, menguras sumber daya alamnya tanpa memeliharanya, bangsa yang lebih kental ikatan primordialismenya, bangsa yang telah terkikis rasa nasionalismenya, bangsa yang terlalu banyak para politikusnya sedangkan sangat sulit dan sedikit sekali ada sosok negarawan.

Sekarang bangsa ini panen raya akan bencana yang silih berganti mulai dari gempa bumi, tanah longsor, lumpur lapindo, angin puting beliung, bencana banjir, kebakaran, kecelakaan pesawat terbang, kereta api, kapal laut, kenderaan angkutan darat yang setiap hari terjadi. Tidak ada hari tanpa bencana alam dan bencana kemanusiaan, ditambah lagi komplik SARA yang melahirkan perang saudara di Poso dan di sejumlah wilayah kita bahkan sesama warga satu kampung saling tawuran massal, serta banyak lagi bencana yang tidak bisa disebut satu demi satu. Semua itu merupakan panen raya bencana yang terjadi pada bangsa kita karena kita merupakan bangsa yang tidak pandai bersyukur.

Jika hari ini lebih buruk dari hari kemarin, atau hari esok lebih buruk dari hari ini, maka ini bukti konkrit kita tidak pandai bersyukur. Jika kepintaran manusia cenderung melahirkan bencana, maka sungguh kepintaran itu tidak bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.

Naudzubillah...!

Beberapa Pendapat Orang Bijak Tentang "Cinta"

Inilah sekelumit pendapat orang bijak tentang "Cinta" sbb :

Cinta suci itu milik orang yang masih mempunyai harapan walaupun mereka telah dikecewakan.Milik mereka yang masih percaya, walaupun mereka telah dikhianati.Milik mereka yang masih mencintai, walaupun mereka telah disakiti.Dan milik mereka yang mempunyai keberanian dan keyakinan bahwa cinta bukan untuk sementara tetapi untuk selamanya.

Permulaan cinta adalah membiarkan orang yang kamu cintai menjadi dirinya sendiri, dan tidak merubahnya menjadi gambaran yang kamu inginkan. Jika tidak, kamu hanyalah mencintai pantulan dari diri sendiri yang kamu temukan di dalam dirinya.

Bercinta memang mudah. Untuk dicintai juga mudah. Tapi untuk dicintai oleh orang yang kita cintai itulah yang sukar diperoleh.

CINTA sejati adalah saat kau dapat merelakan CINTA itu bahagia, bukan untuk mendapatkannya.

Satu-satunya cara agar kita memperoleh kasih sayang, ialah jangan menuntut agar kita dicintai, tetapi mulailah memberi kasih sayang kepada orang lain tanpa mengharapkan balasan. – Dale Carnagie -

Hanya cinta yang bisa, menaklukkan dendamHanya kasih sayang tulus, yang mampu menyentuhHanya cinta yang bisa, mendamaikan benciHanya kasih sayang tulus yang mampu MENEMBUS RUANG dan WAKTU-Titi DJ-

Sabtu, 14 Agustus 2010

DEMOKRASI, PEMILU DAN PENEGAKAN HUKUM

Oleh : Drs. M. SOFYAN LUBIS, SH.

Demokrasi Modern menurut definisi aslinya adalah bentuk pemerintahan yang di dalamnya banyak keputusan pemerintah atau di belakang kebijakan yang menimbulkan keputusan itu lahir dari suara terbanyak yakni dari mayoritas di pemerintahan atau di belakang kebijakan yang menimbulkan keputusan itu lahir dari suara terbanyak, yakni dari mayoritas di pemerintahan (consent of a majority of adult governed). Namun batasan konseptual yang mudah dipahami tentang "demokrasi" adalah, suatu proses dari system penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan suatu negara yang dijalankan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sedang batasan operasional dari "demokrasi" adalah, bagaimana indikator demokrasi berjalan sebagaimana mestinya. Dan itu dapat diketahui dengan mengukur dan mempertanyakan indikator demokrasi tersebut, seperti :

1. Tingkat sehat tidaknya penyelenggaraan Pemilu ;

2. Tentang sehat tidaknya bangsa ini atau tokoh-tokoh politik dalam bermusyawarah (negosiasi);

3. Tentang sehat tidaknya partisipasi rakyat dalam mempengaruhi kebijakan publik suatu Pemerintahan ;

4. Tentang sehat tidaknya hak-hak wakil rakyat dipergunakan dalam mengkontrol jalannya pemerintahan, seperti : hak angket, hak budget, hak interplasi, hak amandemen dan hak-hak lainnya.


Untuk mengukur suatu negara demokratis atau tidak, harus diukur dari batasan atau definisi operasi tentang demokrasi, bukan dari definisi konsep dari demokrasi itu. Sudah menjadi fakta sejarah demokrasi di Indonesia yang ada selama ini serasa jauh dari ruh atau tondi dari demokrasi itu sendiri. Hal ini dapat diketahui dari :

1. Partisipasi rakyat dapat dibeli dengan uang ;

2. Pemilu dari masa kemasa penuh dengan kecurangan ;

3. Pamer kekuatan massa menjadi kebanggaan dari banyak partai-partai politik untuk melakukan tekanan-tekanan ;

4. Saat bangsa ini atau tokoh-tokokh politik berbeda pendapat di dalam bermusyawarah atau bernegosiasi maka perbedaan tersebut menjadi bibit permusuhan ;

5. hak-hak DPR sebagai mekanisme kontrol terhadap Pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya ;

6. Cita-cita jadi anggota Legislatif tidak diragukan apakah didasarkan pada nasionalisme yang bertujuan untuk memperjuangkan cita-cita proklamasi bangsa ini sebagaimana terdapat di dalam alinea ke IV Pembukaan UUD 1945 ; dimana cita-cita bangsa dan nasionalisme inilah yang harus diperjuangkan dan ditegakkan para sang Caleg jika ia nantinya menjadi anggota Legislatif di Parlemen.

Sedangkan seperti kita ketahui kebanyakan dari anak bangsa ini ingin jadi anggota legislatif hanya sekedar mencari prestige atau gengsi sosial, sehingga kebanyakan dari mereka setelah kekuatan dan modal dikerahkan sang Caleg atau untuk menjadi anggota legislatif dan jika ternyata gagal tentu tidak sedikit pula Caleg tersebut menderita stress bahkan sakit jiwa.

Adanya fakta semacam ini tidaklah berlebihan kalau iman dan taqwa para calon pemimpin bangsa ini dipertanyakan atau bahkan mungkin cara berpikir bangsa ini memang sudah pada "sakit", sehingga tidak paham bagaimana kita harus mensikapi hidup berbangsa dan bernegara. Atau mungkin juga kita tidak tahu betul bahwa ikut dalam partai politik sesungguhnya kita sedang membawa misi ideologi luhur yang harus diperjuangkan untuk membuat bangsa ini sejahtera dan bermartabat, boleh jadi kita tidak lagi memiliki ikatan batin sebagai sebuah bangsa yang besar bahkan kita sudah kehilangan jejak bagaimana menghormati sejarah luhur perjuangan bangsa ini dari yang tadinya terhina akibat penjajahan menjadi sebuah bangsa yang merdeka dan besar, dimana kemerdekaan yang kita nikmati sekarang sesungguhnya telah dibayar begitu sangat mahal dengan darah, nyawa dan air mata yang tidak terhitung banyaknya.

Kita sekarang memang tidak lagi dijajah oleh bangsa asing, namun tidak dapat dipungkiri kita saat ini dijajah oleh bangsa sendiri yang terkotak-kotak dalam ikatan primordialisme yang dampaknya jauh lebih kejam dari penjajahan bangsa asing itu sendiri. Untuk menyelamatkan semua ini kita harus bangkit dan mengenal sejarah dan cita-cita bangsa ini serta menjalankan demokrasi Pancasila yang mengedepankan Iman dan Taqwa, Kemnusiaan dan Nasionalisme dalam budaya prilaku kita saat berdemokrasi untuk mendapatkan kekuasaan yang sah demi mewujudkan cita-cita bangsa ini ke depan.

Namun dalam proses itu semua harus dilakukan melalui Penegakan Hukum yang baik dan tersedianya Sumber Daya Manusia dalam penegakan hukum (Law Enforcement) yang diiringi adanya kesadaran seluruh rakyat bangsa Indonesia untuk selalu patuh dengan hukum terutama pada saat melakukan pesta demokrasi. Fakta yang ada adalah, bangsa ini miskin pendidikan, miskin partisipasi politik karena hak suaranya telah dibeli, miskin keamanan dan kebebasan dalam hidup rukun berdampingan dan miskin keadilan serta kepastian hukum dalam setiap penyelenggaraan Pemilu.

Rakyat yang miskin bukanlah hal yang ideal untuk diajak berdemokrasi apalagi ditengah carut-marutnya penegakan hukum, maka dalam situasi seperti ini mustahil tujuan negara Indonesia dapat tercapai dengan baik, mustahil demokrasi dan pemilu berjalan mulus tanpa ada kekerasan dan kecurangan. Bahkan pembangunan cenderung berdampak sebaliknya yaitu membuat rakyat semakin miskin, merusak system dan prilaku sosial dan merusak lingkungan hidup serta merajalelanya budaya korupsi yang semakin sulit dicegah. Bukankah fakta yang ada, dimana Indonesia dikenal sebagai sebuah negara dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, namun rakyatnya miskin ditengah-tengah kekayaannya sendiri. Ironis !!

Penulis, ada di Kantor Hukum LHS & Partners ( www.kantorhukum-lhs.com )




MARKUS DAN MAFIA PERADILAN


Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.

Makelar Kasus (markus) di sini lebih dimaksudkan, siapa saja yang mencoba dan berupaya mempengaruhi Penegak Hukum yang sedang menangani suatu kasus, sehingga proses hukum menguntungkan orang-orang tertentu dengan memberi imbalan tertentu, sehingga perbuatannya merugikan mereka pencari keadilan yang seharusnya menerima keadilan itu ; Markus bisa dilakukan oleh orang yang bukan penegak hukum yang mempunyai hubungan baik dan akses dengan pejabat yang sedang menangani kasus tertentu, bahkan bisa juga dilakukan oleh Penegak Hukum itu sendiri. Sedang Mafia Peradilan di sini lebih dimaksudkan pada hukum dalam praktik, dimana system dan budaya penegakan hukum yang dijalankan oleh para Penegak Hukum, memberikan peluang untuk diselewengkan, dimana secara implisit "hukum dan keadilan" telah berubah menjadi suatu komoditas yang dapat diperdagangkan. Hukum dan keadilan dapat dibeli oleh mereka orang-orang berduit, sehingga ia menjadi barang mahal di negeri ini. Adapun antara Makelar kasus dengan Mafia Peradilan dua hal yang salingbersinergi atau saling membutuhkan, bahkan dalam praktiknya tidak bisa dipisahkan. Mafia Peradilan spektrumnya jauh lebih luas dari Makelar Kasus. Prinsip peradilan yang cepat, biaya ringan dan sederhana sulit untuk ditemukan dalam praktik peradilan.

Di negeri ini Law Enforcement diibaratkan bagai menegakkan benang basah kata lain dari kata "sulit dan susah untuk diharapkan". Salah satunya yang mempersulit penegakan hukum di Indonesia adalah maraknya "budaya korupsi" di semua birokrasi dan stratifikasi sosial yang telah menjadikan penegakan hukum hanya sebatas retorika yang berisikan sloganitas dan pidato-pidato kosong. Bahkan secara faktual tidak dapat dipungkiri semakin banyak undang-undang yang lahir maka hal itu berbanding lurus semakin banyak pula komoditas yang dapat diperdagangkan. Ironisnya tidak sedikit pula bagian dari masyarakat kita sendiri yang berminat sebagai pembelinya. Di sini semakin tanpak bahwa keadilan dan kepastian hukum tidak bisa diberikan begitu saja secara gratis kepada seseorang jika disaat yang sama ada pihak lain yang menawarnya. Kenyataan ini memperjelas kepada kita hukum di negeri ini "tidak akan pernah" memihak kepada mereka yang lemah dan miskin. " Sekali lagi tidak akan pernah… ! "

Sindiran yang sifatnya sarkatisme mengatakan, "berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang akan aku capai pasti akan lebih baik dari hukum yang terbaik yang pernah ada dinegeri ini". Tapi agaknya para Penegak Hukum, Politisi, Pejabat dan Tokoh-Tokoh tertentu dalam masyarakat kita tidak akan punya waktu dan ruang hati untuk dapat mengubris segala bentuk sindiran yang mempersoalkan eksistensi pekerjaan dan tanggungjawab publiknya, jika sindiran itu bakal mengurangi rejekinya.
Buruknya proses pembuatan undang-undang dan proses penegakan hukum yang telah melahirkan stigmatisasi mafia hukum dan mafia peradilan di Indonesia, yang kalau kita telusuri keberadaannya ternyata mengakar pada kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa. Sehingga apa yang disebut dengan mafia hukum dan mafia peradilan eksistensinya cenderung abadi karena ia telah menjadi virus mentalitas yang membudaya dalam proses penegakan hukum di negeri ini. Sehingga berbicara tentang Law Enforcement di Indonesia tidaklah bisa dengan hanya memecat para Hakim, memecat para Jaksa dan memecat para Polisi yang korup, akan tetapi perbaikan tersebut haruslah dimulai dengan pembangunan pendidikan dengan pendekatan pembangunan kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa dan membangun moral force serta etika kebangsaan yang kuat berlandaskan pada Iman dan Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Namun upaya untuk menempatkan hukum menjadi panglima di negeri ini diperlukan juga adanya polical will dari para elite politik dan gerakan moral dari seluruh anak bangsa yang perduli akan nasib bangsa ini, serta membrantas politikus busuk yang lagi sibuk merebut kekuasaan ! -----------

KEBEBASAN HAKIM VS PENCARI KEADILAN

Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.

Sebenarnya pengertian "kebebasan hakim" dalam mengadili dan memutus suatu perkara secara limitatif telah dirumuskan dalam pasal 24 ayat (2) UUD 1945, Jo. Pasal 4 ayat (3) Jo. Pasal 16 ayat (1) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Cuma prinsif rule of the law dalam praktiknya sangat dipengaruhi pada cara, sifat, sikap dan suasana kebebasan para hakim dalam menyelesaikan suatu perkara. Hakim lebih banyak menggunakan practical reason yang erat hubungannya dengan latar belakang masing-masing hakim bersangkutan. Apalagi dalam praktik, banyak hakim dalam kebebasannya memutus perkara selalu dipengaruhi oleh beberapa atribut yang selalu menjadi kerangka acuannya, antara lain hakim tidak bisa hanya berpegang pada prinsip legalitas saja (homo yuridicus), karena juga harus juga mendasari pada ethical principle atau keutamaan moral (homo ethicus) maupun keutamaan lainnya seperti keutamaan teological (homo religious). Sedang pemahaman tentang kebebasan hakim adalah, jika seorang hakim dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara, bebas dalam menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, serta bebas dari segala pengaruh pihak luar yang dapat merubah keyakinannya tentang rasa keadilan yang dimilikinya. Namun menurut Yahya Harahap makna kebebasan hakim jangan diartikan kebebasan yang tanpa batas, dengan menonjolkan sikap sombong akan kekuasaannya (arrogance of power) dengan memperalat kebebasan tersebut untuk menghalalkan segala cara. Namun kebebasan tersebut harus mengacu pada penerapan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang tepat dan benar, menafsirkan hukum dengan tepat melalui pendekatan yang dibenarkan, dan kebebasan untuk mencari dan menemukan hukum ( recht vinding). Dalam praktiknya banyak pencari keadilan dikorbankan oleh praktik penyalahgunaan kebebasan hakim ini, karena hakim keliru memahami makna kebebasan peradilan (judicial independency), sehingga peradilan melalui hakim-hakimnya melakukan pelanggaran batas dan penyalahgunaan kewenangannya, yang mengakibatkan hakim identik dengan peradilan dan hukum. Hakim semacam ini tidak kekurangan alasan untuk membenarkan yang salah dan/atau menyalahkan yang benar. Sikap dan perilaku hakim semacam ini tentu telah menempatkan peradilan dan hakim di atas hukum, dimana penyelesaian dan putusan yang dijatuhkan bukan lagi berdasarkan hukum, akan tetapi menurut selera dan kemauan hakim yang bersangkutan. Dan biasanya dalam konteks ini, hakim bersangkutan dalam memutus suatu perkara berdasarkan "pesan sponsor" yang telah menyuapnya. Sedangkan bagi pihak yang telah dikalahkan, hakim tersebut cukup menggunakan alasan klasik dan mengatakan, "kalau anda tidak puas dengan putusan kami, silakan anda melakukan upaya hukum" baik banding atau kasasi. Salah satu untuk mengetahui bentuk penyalahgunaan kebebasan hakim ini dapat diketahui di dalam putusan Peninjauan Kembali atau (hierzening) di Mahkamah Agung. Dalam putusan PK, tidak heran dalam putusan tersebut terungkap bahwa : 1) Putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang baru diketahui setelah vonis dijatuhkan ; 2) Putusan hakim dibuat atas dasar sejumlah bukti yang dikemudian hari ternyata palsu ; 3). Setelah perkara diputus, ditemukan bukti-bukti baru yang bisa mengubah putusan ; 4). Vonis menjatuhkan hukuman melebihi atau di luar tuntutan ; 5). Dalam perkara yang sama ada putusan yang saling bertentangan antara satu dengan lainnya ; 6). Hakim dalam putusannya jelas-jelas telah melakukan kekeliruan yang nyata ; Dll. Suburnya praktik mafia peradilan di negeri ini, selalu bersumber dari bentuk penyalahgunaan kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. Kalau dilihat adanya prinsip hukum yang mengatakan, Res Judicata Pro Veritate Habetur yang artinya "putusan hakim harus dianggap benar" dimana putusan tersebut dijatuhkan, dengan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Prinsip ini telah menempatkan sang hakim sangat begitu penting dalam proses penegakan hukum di negeri ini. Oleh karenanya kualitas keadilan dari setiap putusan yang dijatuhkan sang hakim sangat bergantung dari kualitas hubungan baiknya atau ketaqwaannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Apakah demikian kebanyakan dari para hakim yang dimiliki republik ini….?

Penulis : Drs.M.Sofyan Lubis, SH. dari Kantor Hukum LHS & Partners.