Breaking News

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 14 Agustus 2010

DEMOKRASI, PEMILU DAN PENEGAKAN HUKUM

Oleh : Drs. M. SOFYAN LUBIS, SH.

Demokrasi Modern menurut definisi aslinya adalah bentuk pemerintahan yang di dalamnya banyak keputusan pemerintah atau di belakang kebijakan yang menimbulkan keputusan itu lahir dari suara terbanyak yakni dari mayoritas di pemerintahan atau di belakang kebijakan yang menimbulkan keputusan itu lahir dari suara terbanyak, yakni dari mayoritas di pemerintahan (consent of a majority of adult governed). Namun batasan konseptual yang mudah dipahami tentang "demokrasi" adalah, suatu proses dari system penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan suatu negara yang dijalankan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sedang batasan operasional dari "demokrasi" adalah, bagaimana indikator demokrasi berjalan sebagaimana mestinya. Dan itu dapat diketahui dengan mengukur dan mempertanyakan indikator demokrasi tersebut, seperti :

1. Tingkat sehat tidaknya penyelenggaraan Pemilu ;

2. Tentang sehat tidaknya bangsa ini atau tokoh-tokoh politik dalam bermusyawarah (negosiasi);

3. Tentang sehat tidaknya partisipasi rakyat dalam mempengaruhi kebijakan publik suatu Pemerintahan ;

4. Tentang sehat tidaknya hak-hak wakil rakyat dipergunakan dalam mengkontrol jalannya pemerintahan, seperti : hak angket, hak budget, hak interplasi, hak amandemen dan hak-hak lainnya.


Untuk mengukur suatu negara demokratis atau tidak, harus diukur dari batasan atau definisi operasi tentang demokrasi, bukan dari definisi konsep dari demokrasi itu. Sudah menjadi fakta sejarah demokrasi di Indonesia yang ada selama ini serasa jauh dari ruh atau tondi dari demokrasi itu sendiri. Hal ini dapat diketahui dari :

1. Partisipasi rakyat dapat dibeli dengan uang ;

2. Pemilu dari masa kemasa penuh dengan kecurangan ;

3. Pamer kekuatan massa menjadi kebanggaan dari banyak partai-partai politik untuk melakukan tekanan-tekanan ;

4. Saat bangsa ini atau tokoh-tokokh politik berbeda pendapat di dalam bermusyawarah atau bernegosiasi maka perbedaan tersebut menjadi bibit permusuhan ;

5. hak-hak DPR sebagai mekanisme kontrol terhadap Pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya ;

6. Cita-cita jadi anggota Legislatif tidak diragukan apakah didasarkan pada nasionalisme yang bertujuan untuk memperjuangkan cita-cita proklamasi bangsa ini sebagaimana terdapat di dalam alinea ke IV Pembukaan UUD 1945 ; dimana cita-cita bangsa dan nasionalisme inilah yang harus diperjuangkan dan ditegakkan para sang Caleg jika ia nantinya menjadi anggota Legislatif di Parlemen.

Sedangkan seperti kita ketahui kebanyakan dari anak bangsa ini ingin jadi anggota legislatif hanya sekedar mencari prestige atau gengsi sosial, sehingga kebanyakan dari mereka setelah kekuatan dan modal dikerahkan sang Caleg atau untuk menjadi anggota legislatif dan jika ternyata gagal tentu tidak sedikit pula Caleg tersebut menderita stress bahkan sakit jiwa.

Adanya fakta semacam ini tidaklah berlebihan kalau iman dan taqwa para calon pemimpin bangsa ini dipertanyakan atau bahkan mungkin cara berpikir bangsa ini memang sudah pada "sakit", sehingga tidak paham bagaimana kita harus mensikapi hidup berbangsa dan bernegara. Atau mungkin juga kita tidak tahu betul bahwa ikut dalam partai politik sesungguhnya kita sedang membawa misi ideologi luhur yang harus diperjuangkan untuk membuat bangsa ini sejahtera dan bermartabat, boleh jadi kita tidak lagi memiliki ikatan batin sebagai sebuah bangsa yang besar bahkan kita sudah kehilangan jejak bagaimana menghormati sejarah luhur perjuangan bangsa ini dari yang tadinya terhina akibat penjajahan menjadi sebuah bangsa yang merdeka dan besar, dimana kemerdekaan yang kita nikmati sekarang sesungguhnya telah dibayar begitu sangat mahal dengan darah, nyawa dan air mata yang tidak terhitung banyaknya.

Kita sekarang memang tidak lagi dijajah oleh bangsa asing, namun tidak dapat dipungkiri kita saat ini dijajah oleh bangsa sendiri yang terkotak-kotak dalam ikatan primordialisme yang dampaknya jauh lebih kejam dari penjajahan bangsa asing itu sendiri. Untuk menyelamatkan semua ini kita harus bangkit dan mengenal sejarah dan cita-cita bangsa ini serta menjalankan demokrasi Pancasila yang mengedepankan Iman dan Taqwa, Kemnusiaan dan Nasionalisme dalam budaya prilaku kita saat berdemokrasi untuk mendapatkan kekuasaan yang sah demi mewujudkan cita-cita bangsa ini ke depan.

Namun dalam proses itu semua harus dilakukan melalui Penegakan Hukum yang baik dan tersedianya Sumber Daya Manusia dalam penegakan hukum (Law Enforcement) yang diiringi adanya kesadaran seluruh rakyat bangsa Indonesia untuk selalu patuh dengan hukum terutama pada saat melakukan pesta demokrasi. Fakta yang ada adalah, bangsa ini miskin pendidikan, miskin partisipasi politik karena hak suaranya telah dibeli, miskin keamanan dan kebebasan dalam hidup rukun berdampingan dan miskin keadilan serta kepastian hukum dalam setiap penyelenggaraan Pemilu.

Rakyat yang miskin bukanlah hal yang ideal untuk diajak berdemokrasi apalagi ditengah carut-marutnya penegakan hukum, maka dalam situasi seperti ini mustahil tujuan negara Indonesia dapat tercapai dengan baik, mustahil demokrasi dan pemilu berjalan mulus tanpa ada kekerasan dan kecurangan. Bahkan pembangunan cenderung berdampak sebaliknya yaitu membuat rakyat semakin miskin, merusak system dan prilaku sosial dan merusak lingkungan hidup serta merajalelanya budaya korupsi yang semakin sulit dicegah. Bukankah fakta yang ada, dimana Indonesia dikenal sebagai sebuah negara dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, namun rakyatnya miskin ditengah-tengah kekayaannya sendiri. Ironis !!

Penulis, ada di Kantor Hukum LHS & Partners ( www.kantorhukum-lhs.com )




MARKUS DAN MAFIA PERADILAN


Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.

Makelar Kasus (markus) di sini lebih dimaksudkan, siapa saja yang mencoba dan berupaya mempengaruhi Penegak Hukum yang sedang menangani suatu kasus, sehingga proses hukum menguntungkan orang-orang tertentu dengan memberi imbalan tertentu, sehingga perbuatannya merugikan mereka pencari keadilan yang seharusnya menerima keadilan itu ; Markus bisa dilakukan oleh orang yang bukan penegak hukum yang mempunyai hubungan baik dan akses dengan pejabat yang sedang menangani kasus tertentu, bahkan bisa juga dilakukan oleh Penegak Hukum itu sendiri. Sedang Mafia Peradilan di sini lebih dimaksudkan pada hukum dalam praktik, dimana system dan budaya penegakan hukum yang dijalankan oleh para Penegak Hukum, memberikan peluang untuk diselewengkan, dimana secara implisit "hukum dan keadilan" telah berubah menjadi suatu komoditas yang dapat diperdagangkan. Hukum dan keadilan dapat dibeli oleh mereka orang-orang berduit, sehingga ia menjadi barang mahal di negeri ini. Adapun antara Makelar kasus dengan Mafia Peradilan dua hal yang salingbersinergi atau saling membutuhkan, bahkan dalam praktiknya tidak bisa dipisahkan. Mafia Peradilan spektrumnya jauh lebih luas dari Makelar Kasus. Prinsip peradilan yang cepat, biaya ringan dan sederhana sulit untuk ditemukan dalam praktik peradilan.

Di negeri ini Law Enforcement diibaratkan bagai menegakkan benang basah kata lain dari kata "sulit dan susah untuk diharapkan". Salah satunya yang mempersulit penegakan hukum di Indonesia adalah maraknya "budaya korupsi" di semua birokrasi dan stratifikasi sosial yang telah menjadikan penegakan hukum hanya sebatas retorika yang berisikan sloganitas dan pidato-pidato kosong. Bahkan secara faktual tidak dapat dipungkiri semakin banyak undang-undang yang lahir maka hal itu berbanding lurus semakin banyak pula komoditas yang dapat diperdagangkan. Ironisnya tidak sedikit pula bagian dari masyarakat kita sendiri yang berminat sebagai pembelinya. Di sini semakin tanpak bahwa keadilan dan kepastian hukum tidak bisa diberikan begitu saja secara gratis kepada seseorang jika disaat yang sama ada pihak lain yang menawarnya. Kenyataan ini memperjelas kepada kita hukum di negeri ini "tidak akan pernah" memihak kepada mereka yang lemah dan miskin. " Sekali lagi tidak akan pernah… ! "

Sindiran yang sifatnya sarkatisme mengatakan, "berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang akan aku capai pasti akan lebih baik dari hukum yang terbaik yang pernah ada dinegeri ini". Tapi agaknya para Penegak Hukum, Politisi, Pejabat dan Tokoh-Tokoh tertentu dalam masyarakat kita tidak akan punya waktu dan ruang hati untuk dapat mengubris segala bentuk sindiran yang mempersoalkan eksistensi pekerjaan dan tanggungjawab publiknya, jika sindiran itu bakal mengurangi rejekinya.
Buruknya proses pembuatan undang-undang dan proses penegakan hukum yang telah melahirkan stigmatisasi mafia hukum dan mafia peradilan di Indonesia, yang kalau kita telusuri keberadaannya ternyata mengakar pada kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa. Sehingga apa yang disebut dengan mafia hukum dan mafia peradilan eksistensinya cenderung abadi karena ia telah menjadi virus mentalitas yang membudaya dalam proses penegakan hukum di negeri ini. Sehingga berbicara tentang Law Enforcement di Indonesia tidaklah bisa dengan hanya memecat para Hakim, memecat para Jaksa dan memecat para Polisi yang korup, akan tetapi perbaikan tersebut haruslah dimulai dengan pembangunan pendidikan dengan pendekatan pembangunan kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa dan membangun moral force serta etika kebangsaan yang kuat berlandaskan pada Iman dan Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Namun upaya untuk menempatkan hukum menjadi panglima di negeri ini diperlukan juga adanya polical will dari para elite politik dan gerakan moral dari seluruh anak bangsa yang perduli akan nasib bangsa ini, serta membrantas politikus busuk yang lagi sibuk merebut kekuasaan ! -----------

KEBEBASAN HAKIM VS PENCARI KEADILAN

Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.

Sebenarnya pengertian "kebebasan hakim" dalam mengadili dan memutus suatu perkara secara limitatif telah dirumuskan dalam pasal 24 ayat (2) UUD 1945, Jo. Pasal 4 ayat (3) Jo. Pasal 16 ayat (1) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Cuma prinsif rule of the law dalam praktiknya sangat dipengaruhi pada cara, sifat, sikap dan suasana kebebasan para hakim dalam menyelesaikan suatu perkara. Hakim lebih banyak menggunakan practical reason yang erat hubungannya dengan latar belakang masing-masing hakim bersangkutan. Apalagi dalam praktik, banyak hakim dalam kebebasannya memutus perkara selalu dipengaruhi oleh beberapa atribut yang selalu menjadi kerangka acuannya, antara lain hakim tidak bisa hanya berpegang pada prinsip legalitas saja (homo yuridicus), karena juga harus juga mendasari pada ethical principle atau keutamaan moral (homo ethicus) maupun keutamaan lainnya seperti keutamaan teological (homo religious). Sedang pemahaman tentang kebebasan hakim adalah, jika seorang hakim dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara, bebas dalam menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, serta bebas dari segala pengaruh pihak luar yang dapat merubah keyakinannya tentang rasa keadilan yang dimilikinya. Namun menurut Yahya Harahap makna kebebasan hakim jangan diartikan kebebasan yang tanpa batas, dengan menonjolkan sikap sombong akan kekuasaannya (arrogance of power) dengan memperalat kebebasan tersebut untuk menghalalkan segala cara. Namun kebebasan tersebut harus mengacu pada penerapan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang tepat dan benar, menafsirkan hukum dengan tepat melalui pendekatan yang dibenarkan, dan kebebasan untuk mencari dan menemukan hukum ( recht vinding). Dalam praktiknya banyak pencari keadilan dikorbankan oleh praktik penyalahgunaan kebebasan hakim ini, karena hakim keliru memahami makna kebebasan peradilan (judicial independency), sehingga peradilan melalui hakim-hakimnya melakukan pelanggaran batas dan penyalahgunaan kewenangannya, yang mengakibatkan hakim identik dengan peradilan dan hukum. Hakim semacam ini tidak kekurangan alasan untuk membenarkan yang salah dan/atau menyalahkan yang benar. Sikap dan perilaku hakim semacam ini tentu telah menempatkan peradilan dan hakim di atas hukum, dimana penyelesaian dan putusan yang dijatuhkan bukan lagi berdasarkan hukum, akan tetapi menurut selera dan kemauan hakim yang bersangkutan. Dan biasanya dalam konteks ini, hakim bersangkutan dalam memutus suatu perkara berdasarkan "pesan sponsor" yang telah menyuapnya. Sedangkan bagi pihak yang telah dikalahkan, hakim tersebut cukup menggunakan alasan klasik dan mengatakan, "kalau anda tidak puas dengan putusan kami, silakan anda melakukan upaya hukum" baik banding atau kasasi. Salah satu untuk mengetahui bentuk penyalahgunaan kebebasan hakim ini dapat diketahui di dalam putusan Peninjauan Kembali atau (hierzening) di Mahkamah Agung. Dalam putusan PK, tidak heran dalam putusan tersebut terungkap bahwa : 1) Putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang baru diketahui setelah vonis dijatuhkan ; 2) Putusan hakim dibuat atas dasar sejumlah bukti yang dikemudian hari ternyata palsu ; 3). Setelah perkara diputus, ditemukan bukti-bukti baru yang bisa mengubah putusan ; 4). Vonis menjatuhkan hukuman melebihi atau di luar tuntutan ; 5). Dalam perkara yang sama ada putusan yang saling bertentangan antara satu dengan lainnya ; 6). Hakim dalam putusannya jelas-jelas telah melakukan kekeliruan yang nyata ; Dll. Suburnya praktik mafia peradilan di negeri ini, selalu bersumber dari bentuk penyalahgunaan kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. Kalau dilihat adanya prinsip hukum yang mengatakan, Res Judicata Pro Veritate Habetur yang artinya "putusan hakim harus dianggap benar" dimana putusan tersebut dijatuhkan, dengan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Prinsip ini telah menempatkan sang hakim sangat begitu penting dalam proses penegakan hukum di negeri ini. Oleh karenanya kualitas keadilan dari setiap putusan yang dijatuhkan sang hakim sangat bergantung dari kualitas hubungan baiknya atau ketaqwaannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Apakah demikian kebanyakan dari para hakim yang dimiliki republik ini….?

Penulis : Drs.M.Sofyan Lubis, SH. dari Kantor Hukum LHS & Partners.