Breaking News

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 16 Agustus 2016

MELIRIK PROBLEMA PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA

Problema yang menyangkut nilai-nilai sosial sebagai suatu ukuran kepatutan dari nilai-nilai rujukan masyarakat dalam hidup bersama baik itu menyangkut norma Agama, norma Kesusilaan, norma Etika/Kesopanan dan norma Hukum sekarang ini secara umum telah terjadi degradasi atau pendangkalan di dalam pemahaman dan implimentasinya. Masyarakat kita begitu disibukkan oleh derasnya lautan informasi yang masuk ke dalam dirinya melalui media sosial yang tak bisa “dibendung dan dicegah”.

Kondisi semacam ini menstimulasi masyarakat untuk melakukan apa saja yang menarik diterimanya dari media sosial terkadang secara berlebihan, emosional dan pada gilirannya cenderung berbenturan dengan norma Agama, norma Kesusilaan, Norma Etika/Kesopanan dan bahkan norma Hukum. Kompleksnya interaksi manusia di dalam masyarakat dan ketidakberdayaan Pemerintah dalam menegakkan wibawa hukum melahirkan masalah serius dari proses penegakan itu sendiri.

Masalah penegakan hukum di Indonesia merupakan masalah yang sangat serius dan akan terus berkembang jika unsur di dalam sistem itu sendiri tidak ada perubahan, tidak ada reformasi di bidang itu sendiri. Karakter bangsa Indonesia yang kurang baik merupakan aktor utama dari segala ketidaksesuaian pelaksanaan hukum di negari ini. Perlu ditekankan sekali lagi, walaupun tidak semua penegakan hukum di Indonesia tidak semuanya buruk. Namun keburukan penegakan ini seakan menutupi segala keselaran hukum yang berjalan di mata masyarakat. Begitu banyak kasus-kasus hukum yang silih berganti dalam kurun waktu relatif singkat, bahkan bersamaan kejadiaannya. Perlu ada reformasi yang sebenarnya, karena permasalahan hukum ini merupakan permasalahan dasar suatu negara, bagaimana masyarakat bisa terjamin keamanannya atau bagaimana masyarakat bisa merasakan keadilan yang sebenarnya, hukumlah yang mengatur semua itu, dan perlu digaris-bawahi bahwa hukum sebanarnya telah sesuai dengan kehidupan masyarakat, tetapi pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan baik pribadi maupun kelompok merupakan penggagas segala kebobrokan hukum di negeri ini.

Perlu banyak evaluasi-evaluasi yang harus dilakukan, harus ada penindaklanjutan yang jelas mengenai penyelewengan hukum yang kian hari kian menjadi. Perlu ada ketegasan tersendiri dan kesadaran yang hierarki dari individu atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Perlu ditanamkan mental yang kuat, sikap malu dan pendirian iman dan takwa yang sejak kecil harus diberikan kepada kader-kader pemimpin dan pelaksana aparatur negara atau pihak-pihak berkepentingan lainnya. Karena baik untuk hukum Indonesia, baik pula untuk bangsanya dan buruk untuk hukum di negeri ini, buruk pula konsekuensi yang akan diterima oleh masayarakat dan Negara.

Jadi, penerapan dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 perubahan ketiga yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara hukum”, harus dilaksanakan, karena sudah demikian ketetapan itu berlaku. Merupakan karekteristik yang harus tertanam dalam diri pribadi ataupun kelompok kepentingan. Kita harus malu dengan Undang-Undang tersebut, harus malu dengan pendiri bangsa yang rela menumpahkan darah demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, kita harus menghargai semua perjuangan itu dengan hal yang tidak dapat membuat negeri ini malu di mata masyarakat ini sendiri bahkan dunia luar. Bangsa yang besar tidak hanya berdasarkan luasan wilayahnya ataupun betapa banyaknya jumlah penduduk, tetapi dengan menghargai perjuangan para pahlawan terdahulu dengan menjalankan ketentuan hukum yang berlaku demi terciptanya keamanan, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat.

ALTERNATIF SOLUSI YANG DAPAT DISARANKAN

Berbagai realita yang terjadi di era reformasi sampai sekarang terkait dengan penegakan hukum yang terdapat di Indonesia sudah tidak relevan dengan apa yang tertuang dalam kontitusi negara ini. Indonesia dengan berbagai macam problem tentang anarkisnya para penegak hukum, hal ini sudah tidak sesuai dengan apa yang di cita-citakan oleh para pendiri bangsa terdahulu. Berbagai hal sudah bergeser dari amanah konstitusi namun kita tidak sepantasnya untuk menyalahkan sepenuhnya kegagalan tersebut kepada para penegak hukum atau pihak-pihak yang menjalankan hukum karena bagaimana pun masyarakat adalah pemegang hukum dan tempat hukum tersebut berpijak.
Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” merupakan entri yang sangat menuju masyarakat kewargaan. Masyarakat kewargaan pertama-tama akan mempersoalkan siapa-siapa yang termasuk ke dalam kategori warga atau kewargaan dalam masyarakat. Reformasi hukum hendaknya secara sungguh-sungguh menjadikan “eksistensi kebhinekaan” menjadi agenda dan bagaimana mewujudkan ke dalam sekalian fundamental hukum. Kalau kita belajar dari pengalaman, maka semboyan “Bhineka Tunggal Ika” lebih memberi tekanan pada aspek ”Tunggal”, sehingga memperkosa eksistensi pluralism. Demi ketunggalan atau kesatuan, pluralism tidak dibiarkan ada.

Bertolak dari pengakuan terhadap eksistensi pluralism tersebut, maka konflik adalah fungsional bagi berdirinya masyarakat. Konflik bukan sesuatu yang harus ditabukan, sebab mengakui kebhinekaan adalah mengakui konflik, sebagai sesuatu yang potensial. Dengan demikian, filsafat yang dipegang adalah menyalurkan konflik sedemikian rupa sehingga menjadi produktif buat masyarakat.
Masalah tentang problematika penegakan hukum telah menjadi sebuah tema yang sangat menarik untuk diangkat dalam berbagai seminar. Salah satu diantaranya tidak ada kepuasaan yang dicapai subjek hukum yang tidak lain adalah manusia serta berbagai badan-badan hukum.

Saya mencoba untuk memberikan beberapa pemecahan dari berbagai problematika penegakan hukum di Indonesia. Yang pertama yakni bagaimana sikap serta tindakan para sarjana hukum untuk lebih memperluas cakrawalanya dalam memahami atau menganalisis masalah-masalah yang terjadi sekarang ini. Di sini dibutuhkan sebuah pandangan kritis akan makna atau arti penting penegakan hukum yang sebenarnya. Selain itu dibutuhkan ilmu-ilmu sosial lainnya seperti sosiologi dalam mengidentifikasi masalah-masalah sosial serta penegakan hukum yang ada dalam masyarakat agar dalam pembuatan hukum ke depannya dapat menjadikan kekurangan atau kegagalan di masa lalu sebagai bahan pembelajaran.
Namun yang perlu diingat bersama adalah adanya kesadaran dalam pelaksanaaan hukum serta adanya keadilan tanpa memandang suku, agama, ras, serta budaya seperti yang terkandung di dalam pasal 27 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Kemudian yang kedua, cara untuk menyelesaikan berbagai masalah terkait hal tersebut yakni bagaimana tindakan para aparat penegak hukum mulai dari polisi, hakim, jaksa, serta pengacara dalam menangani setiap kasus hukum dengan dilandasi nilai-nilai kejujuran, sadar akan namanya keadilan, serta melakukan proses-proses hukum sesuai dengan aturan yang ada di dalam undang-undang negara kita. Bukan hanya itu filosofi Pancasila sebagai asas kerohanian dan sebagai pandangan hidup dalam bertindak atau sebagai pusat dimana pengamalannya sesuai dengan cita-cita dan tujuan negara kita sebagaimana telah dijelaskan dalam pembukaan UUD 1945 yang terdapat pada alinea ke-IV. Hukum seharusnya tidak ditegakkan dalam bentuknya yang pa­ling kaku, arogan, hitam putih. Tapi harus berdasarkan rasa keadilan yang tinggi, tidak hanya mengikuti hukum dalam konteks perundang-undangan hitam putih semata. Karena hukum yang ditegakkan yang hanya berdasarkan konteks hitam putih belaka hanya akan menghasilkan putusan-putusan yang kontoversial dan tidak memenuhi rasa keadilan yang sebenarnya.

Cara yang ketiga yakni program jangka panjang yang perlu dilakukan yakni penerapan pendidikan karakter dalam setiap tingkatan pendidikan. Untuk mengetahui tingkat keefektifan program tersebut dalam membangun atau menguatkan mental anak bangsa ditengah penurunan kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun perlu kita pupuk dulu agar nantinya generasi-generasi penerus bangsa tidak salah langkah dalam mengambil setiap keputusan. Program ini juga mempunyai implikasi positif terhadap penegakan hukum yang dijalankan di Indonesia karena para penegak hukum telah dibekali pembangunan karakter yang akan melahirkan atau menciptakan manusia Indonesia yang unggul.
Untuk cara keempat yakni adanya penghargaan bagi jaksa dan hakim berprestasi yang memberikan terobosan-terobosan dalam penegakan hukum di Indonesia. Dengan adanya penghargaan ini diharapkan setiap jaksa maupun hakim berlomba untuk memberikan terobosan yang bermanfaat bagi penegakan hukum di Indonesia.


Meskipun saat ini kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum masih sangat rendah. Keberanian lembaga-lembaga hukum bangsa ini akan menjadi titik cerah bagi penegakan hukum. Namun selain itu kesadaran masyarakat dalam menta’ati hukum akan menjadi hal yang mempengaruhi penegakkan hukum di Indonesia. Karena lemahnya penegakan hukum selama ini juga akibat masyarakat yang kurang menaati hukum.

Dirangkum Oleh : Advokat MSA Lubis

Langkah Hukum Jika Ahli Waris Dihalang-halangi dalam Pembagian Warisan


Di dalam Hukum Perdata, orang yang berhak mendapatkan harta warisan atau yang berhak menjadi ahli waris dan memiliki kepentingan langsung terhadap harta warisan tersebut adalah para keluarga sedarah, baik yang sah maupun luar kawin, dan suami/istri pewaris yang sah yang masih hidup. Maka suami dari adik Saudara tidak termasuk dalam ahli waris karena suami dari adik Saudara bukan keluarga sedarah. Hal ini diatur dalam Pasal 832 KUHPerdata yang berbunyi :

“Menurut undang-undang yang berhak untuk menjadi ahli waris adalah para keluarga sedarah baik sah maupun luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama, semua menurut peraturan tertera di bawah ini”

Sedangkan Pasal 174 KHI, menyatakan bahwa:

(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

a. Menurut hubungan darah :
- Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
- Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.
(2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapatkan warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda.

Begitu pula dalam bukunya yang berjudul Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris, Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn., menyampaikan bahwa pada prinsip pewarisan, orang yang berhak menjadi ahli waris adalah yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris baik secara langsung maupun orangtua, saudara, nenek/kakek, atau keturunan dari saudara-saudaranya. Sehingga Saudara dan adik Saudara termasuk dalam kategori ahli waris dari ayah Saudara.

Saudara yang termasuk sebagai salah satu ahli waris, berhak untuk menggunakan harta warisan yang menjadi bagian Saudara. Sebagai salah satu ahli waris, Anda dapat meminta pembagian warisan karena Anda sebagai ahli waris tidak diharuskan menerima berlangsungnya harta peninggalan dalam keadaan tidak terbagi. Anda mempunyai hak untuk menuntut pembagian, sebagaimana diatur dalam Pasal 1066 KUHPerdata dinyatakan sebagai berikut:

“Tiada seorang pun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan menerima harta peninggalan tersebut dalam keadaan tidak terbagi.
Pemisahan harta peninggalan itu dapat sewaktu-waktu dituntut, meskipun ada ketentuan yang bertentangan dengan itu.”

Sedangkan di dalam Pasal 188 KHI menjelaskan bahwa:
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada di antara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan.

Jika saudara merasa dihalang-halangi oleh suami adik Saudara dalam pembagian harta warisan tersebut, Saudara dapat mengajukan gugatan pembagian harta warisan ke Pengadilan Negeri ditempat tanah warisan tersebut berada, atau jika perkawinan pewaris dicatatkan di Kantor Urusan Agama, Saudara dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama di tempat tanah warisan tersebut berada.

Hal ini diatur dalam Pasal 834 KUHPerdata yang berbunyi :

”Tiap-tiap waris berhak mengajukan gugatan guna memperjuangkan hak warisnya, terhadap segala mereka, yang baik atas dasar hak yang sama, baik tanpa dasar sesuatu hak pun menguasai seluruh atau sebagian harta peninggalan, seperti pun terhadap mereka, yang secara licik telah menghentikan penguasaannya.
Ia boleh memajukan gugatan itu untuk seluruh warisan, jika ia adalah waris satu-satunya, atau hanya untuk sebagian jika ada berapa waris lainnya.”

Atau dalam Pasal 188 KHI berbunyi demikian:

“............Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui pembagian harta warisan, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan”.

Oleh karena itu jika suami adik Saudara menghalang-halangi pembagian harta warisan tersebut, maka upaya hukum yang dapat Saudara lakukan sebagai ahli waris, yakni Saudara dapat mengajukan gugatan guna memperjuangkan hak waris Saudara.

Mengenai perbuatan suami adik Saudara yang menghalang-halangi proses waris bukan merupakan suatu tindak pidana, jadi Saudara tidak dapat membawa permasalahan ini ke ranah pidana, permasalahan ini dapat diselesaikan dengan gugatan perdata.

Demikian semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

2. Kompilasi Hukum Islam.

Senin, 18 Januari 2016

DEMOKRASI, PEMILU dan PENEGAKAN HUKUM

Demokrasi Modern menurut definisi aslinya adalah bentuk pemerintahan yang di dalamnya banyak keputusan pemerintah atau di belakang kebijakan yang menimbulkan keputusan itu lahir dari suara terbanyak yakni dari mayoritas di pemerintahan atau di belakang kebijakan yang menimbulkan keputusan itu lahir dari suara terbanyak, yakni dari mayoritas di pemerintahan (consent of a majority of adult governed).
Namun batasan konseptual yang mudah difahami tentang “demokrasi” adalah, suatu proses dari system penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan suatu negara yang dijalankan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Sedang batasan operasional dari “demokrasi” adalah, bagaimana indikator demokrasi berjalan sebagaimana mestinya. Dan itu dapat diketahui dengan mengukur dan mempertanyakan indikator demokrasi tersebut, seperti :

1. Tingkat sehat tidaknya penyelenggaraan Pemilu ;
2. Tentang sehat tidaknya bangsa ini atau tokoh-tokoh politik dalam bermusyawarah (negosiasi);
3. Tentang sehat tidaknya partisipasi rakyat dalam mempengaruhi kebijakan publik suatu Pemerintahan ;
4. Tentang sehat tidaknya hak-hak wakil rakyat dipergunakan dalam mengkontrol jalannya pemerintahan, seperti : hak angket, hak budget, hak interplasi, hak amandemen dan hak-hak lainnya.

Untuk mengukur suatu negara demokratis atau tidak, harus diukur dari batasan atau definisi operasi tentang demokrasi, bukan dari definisi konsep dari demokrasi itu.
Sudah menjadi fakta sejarah demokrasi di Indonesia yang ada selama ini serasa jauh dari ruh atau tondi dari demokrasi itu sendiri. Hal ini dapat diketahui dari :

1. Partisipasi rakyat dapat dibeli dengan uang ;
2. Pemilu dari masa kemasa penuh dengan kecurangan ;
3. Pamer kekuatan massa menjadi kebanggaan dari banyak partai-partai politik untuk melakukan tekanan-tekanan ;
4. Saat bangsa ini atau tokoh-tokokh politik berbeda pendapat di dalam bermusyawarah atau bernegosiasi maka perbedaan tersebut menjadi bibit permusuhan ;
5. hak-hak DPR sebagai mekanisme kontrol terhadap Pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya ;
6. Cita-cita jadi anggota Legislatif tidak diragukan apakah didasarkan pada Nasionalisme yang bertujuan akan memperjuangkan cita-cita bangsa ini sebagaimana terdapat di dalam alinea ke IV Pembukaan UUD 1945 ;

Cita-cita bangsa dan Nasionalisme inilah yang harus diperjuangkan dan ditegakkan oleh para sang Caleg jika ia nantinya terpilih menjadi anggota Legislatif di Parlemen. Sedangkan seperti kita ketahui kebanyakan dari anak bangsa ini ingin jadi anggota legislatif hanya sekedar mencari prestige atau gengsi sosial, sehingga kebanyakan dari mereka setelah kekuatan dan modal dikerahkan oleh sang Caleg untuk menjadi anggota legislatif dan jika ada diantara mereka yang gagal akibat psikologisnya tentu tidak sedikit pula yang menderita stres bahkan sakit jiwa.

Mengingat fakta banyak para Caleg yang terganggu kejiwaannya saat tidak terpilih menjadi anggota legislatif, tentu tidak berlebihan kalau iman dan taqwa para calon pemimpin bangsa ini dipertanyakan atau mungkin cara berpikir mereka ini memang sebelumnya sudah pada sakit, karena kebanyakan mereka tidak faham betul bagaimana seharusnya kita hidup berbangsa dan bernegara yang baik dan sesesuai dengan ideologi Pancasila, atau mungkin juga mereka tidak faham betul bahwa ikut dalam partai politik sesungguhnya mereka itu membawa misi ideologi yang harus diperjuangkan untuk membuat bangsa ini sejahtera, aman dan bermartabat, bukan hanya sekedar memperjuangkan bagaimana mendapatkan kursi sebagai anggota legislatif atau berapa banyak jumlah kursi yang bisa didapat oleh partai pengusungnya di Parlemen.
Bahkan mungkin juga kita tidak lagi memiliki ikatan batin sebagai sebuah bangsa yang besar atau juga kita sudah kehilangan jejak bagaimana menghormati sejarah luhur perjuangan bangsa ini dari yang tadinya terhina akibat penjajahan menjadi bangsa yang merdeka yang semua itu telah dibayar dengan darah, nyawa dan air mata para Pahlawan bangsa ini.

Kita sekarang memang tidak lagi dijajah oleh bangsa asing, namun tidak dapat dipungkiri kita saat ini kita "dijajah" oleh bangsa sendiri yang lebih mengakomodir kepentingan bangsa asing ketimbang kepentingan rakyat, mereka (penguasa) lebih melayani bangsa asing sebagai penanam modal dan telah menjadi pemilik mayoritas perusahaan besar di Indonesia, dimana perusahaan asing tersebutlah yang sekarang ini banyak menguasai hajat hidup rakyat banyak di Indonesia ini, dan itu terjadi dimulai sejak jaman Orde Baru dulu.
Salah satu kelemahan anak bangsa ini, kita begitu mudah dipecah-belah oleh kepentingan bangsa asing yang mana mereka sangat tahu bahwa sejati bangsa kita telah terkotak-kotak dalam ikatan primordialisme dalam bentuk prilaku SARA, (SUKU, RAS, AGAMA dan ANTAR GOLONGAN) yang dampaknya jauh lebih kejam dari penjajahan bangsa asing itu sendiri. Untuk menyelamatkan semua ini kita harus bangkit dan mengenal sejarah dan cita-cita bangsa ini serta menjalankan demokrasi Pancasila yang mengedepankan Iman dan Taqwa, Kemanusiaan dan Nasionalisme dalam budaya prilaku kita terutama saat berdemokrasi khususnya dalam Pemilihan Umum dan Pemilukada untuk mendapatkan kekuasaan yang sah demi mewujudkan cita-cita bangsa ini ke depan.

Namun dalam proses itu semua baik itu di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maupun saat hukum dibutuhkan sebagai panglima yang menegakkan segala bentuk pelanggaran PEMILU / PEMILUKADA, haruslah dilakukan melalui Penegakan Hukum yang baik dan akuntabel, dimana untuk keperluan ini jauh hari sebelumnya harus telah tersedianya Sumber Daya Manusia / Para Penegak Hukum yang baik (good Law Enforcement) yang lurus, kredibel yang bekerja tanpa diskriminasi untuk kepentingan tertentu, ditambah lagi adanya dukungan dari seluruh rakyat bangsa Indonesia yang memiliki kesadaran dan kepatuhan hukum terutama dalam setiap pesta demokrasi.

Fakta yang ada adalah, bangsa ini miskin pendidikan, miskin kesadaran tentang perlu ada partisipasi politik, karena dalam banyak fakta ternyata partisipasi politik takyat itu semu karena sebagian besar hak suara mereka telah dibeli. Dalam banyak fakta negeri ini juga miskin keamanan dan kebebasan dalam hidup rukun berdampingan dan miskin keadilan dan kepastian hukum dalam setiap penyelenggaraan Pemilu.
Pada saat rakyat masih "miskin ekonomi dan miskin kesadaran politik", bukanlah hal yang ideal untuk diajak berdemokrasi apalagi ditengah karut-marutnya penegakan hukum, maka dalam situasi seperti ini mustahil tujuan negara Indonesia dapat dicapai dengan baik oleh mereka yang memegang kekuasaan, lebih jauh lagi mustahil demokrasi dan pemilu berjalan mulus tanpa ada kecurangan.

Dalam situasi seperti ini pembangunan cenderung berdampak sebaliknya yaitu membuat rakyat semakin miskin, terjadinya kerusaknya system dan prilaku sosial, rusaknya lingkungan hidup serta merajalelanya budaya korupsi yang semakin sulit dicegah. Bukankah fakta yang ada, dimana Indonesia dikenal sebagai sebuah negara dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, namun rakyatnya miskin ditengah-tengah kekayaan alamnya karena "semua" potensi Sumber Daya Alam Indonesia telah dikelola dan dikuasai oleh perusahaan-perusahaan (Pemodal) asing, akibatnya seluruh yang menguasai hajat hidup rakyat Indonesia ada di tangan bangsa asing dan pada gilirannya kita akan dan/atau telah menjadi kacung dan budak di negeri sendiri. Ironis bukan !!