Breaking News

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 21 November 2010

EIGENRICHTING SEBUAH MEGATREND

Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.


Fenomena umum bagi setiap orang untuk mendapatkan sesuatu sebenarnya ada dua cara, yang pertama dengan cara atau jalur "hukum" dan yang kedua dengan cara atau jalur "kekerasan". Jika dengan jalur hukum orang mengalami frustrasi maka mereka cenderung menggunakan cara yang kedua. Cara yang sah untuk memperjuangkan "hak" bagi setiap warga negara adalah berjuang melalui jalur hukum. Hukum adalah rule of the game bagi semua interaksi manusia dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Supaya masyarakat menghormati hukum tidak dapat tidak hukum itu haruslah berwibawa agar dapat dipatuhi oleh semua warganegara. Namun dalam kenyataannya banyak masyarakat kita cenderung tidak patuh pada hukum karena wibawa hukum "tidak ada". Wibawa hukum sebagian besar terletak pada "komitmen, konsistensi dan kontinuitas" para Penegak Hukum dalam proses penegakan hukum itu sendiri. Seperti orang bijak berkata : "sebaik-baik hukum yang dibuat dan diberlakukan disuatu negara jika para Penegak Hukumnya brengsek maka artinya sama dengan brengseknya hukum itu sendiri".

Dalam kenyataannya dapat dibayangkan kalau "hukum" tidak lagi memberikan kepastian bagi seseorang untuk memperoleh keadilan yang menjadi haknya, dan/atau kalau "hukum" tidak lagi dapat dipercaya sebagai cara efektif untuk mengatur kehidupan bersama yang dapat memberikan rasa aman dan ketenteraman masyarakat, maka dapat dipastikan masyarakat akan cenderung menggunakan cara yang kedua yaitu dengan menggunakan "kekerasan" yang nota bene dengan cara main hakim sendiri ( eigenrichting ). Sebagai illustrasi kasus dapat kita segarkan kembali ingatan kita pada peristiwa hukum main hakim sendiri, antara lain : Perististiwa Pembunuhan dukun santet di Jawa-Timur, lebih kurang 200 orang dieksekusi mati tanpa proses hukum ; Konflik di Sambas dan Poso di Sulawesi ; Kerusuhan di Maluku ; Kekerasan di NAD ; Pengrusakan beberapa toko, kios dan rumah oleh mereka yang diketahui berpakaian ala ninja ; kekerasan yang dilakukan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas atas dasar SARA ; tawuran antar kelompok mahasiswa, antar kampung dan yang paling pahit dan memalukan untuk dikenang adalah perkelahian antara sesama anggota DPR RI pada pembukaan sidang tahunan 2001 pada tanggal 01 Nopember 2001 yang langsung disaksikan oleh ratusan juta rakyat Indonesia melalui layar kaca. Banyak lagi peristiswa senada yang tidak bisa kita paparkan satu demi satu. Intinya adalah budaya main hakim sendiri agaknya telah menjadi "megatrend" dalam masyarakat kita. Dan ini belum termasuk bagi mereka yang menghakimi harta kekayaan negara (para koruptor) yang merupakan sisi gelap lainnya yang menjadi budaya pula di negara kita. Dan juga belum termasuk bagi oknum para Penegak Hukum yang telah menghakimi tersangka terlebih dahulu sebelum menyerahkannya kepada Hakim beneran ; Main hakin sendiri mempunyai konotasi bahwa siapa yang kuat dia yang menang, jadi lebih mengarah pada substansi pengertian hukum rimba. Bila suatu negara dalam kehidupan masyarakatnya lebih dominan berlaku hukum rimba ketimbang hukum normatif yang legal formal maka masyarakat tersebut akan cenderung tunduk kepada kelompok-kelompok atau perorangan yang mempunyai kekuatan phisik, seperti kelompok tertentu yang mempunyai basis massa yang kuat atau kelompok-kelompok premanisme. Apalagi setiap menjelang Pemilu jika tidak segera diantisipasi dapat dipastikan setiap persoalan yang muncul dalam Pemilu akan cenderung diselesaikan dengan cara-cara yang berbau kekuatan phisik. Agaknya main hakim sendiri melalui kekuatan phisik sudah menjadi megatrend dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik dalam kehidupan sosial-politik yang lebih mengandalkan "kekuatan phisik" atau berorientasi pada basis massa yang kuat dalam mencapai tujuan-tujuan politiknya ketimbang menjual program politiknya. Sedang dalam kehidupan sosial ekonomi ditandai dengan banyaknya muncul "debt kolektor" dan/atau menggunakan kelompok-kelompok tertentu yang mempunyai kekuatan phisik yang ditakuti ketimbang menyelesaikan masalah ekonominya melalui negosiasi dan hukum. Semua penomena tersebut menunjukkan bahwa kelompok masyarakat kita cenderung menyiapkan kekuatan phisik sebagai langkah antisipasi dalam menyelesaikan setiap masalahnya ketimbang menggunakan jalur hukum yang mereka nilai tidak efektif.

Budaya main hakim sendiri pada perkembangannya akan melahirkan cara-cara lain seperti teror baik dengan sasaran psikologis maupun phisik, atau yang lebih halus seperti intimidasi, pembunuhan karakter dan lain sebagainya. Maka dalam membangun masarakat madani yang sadar dan patuh pada hukum kita harus secepatnya membangun moral force (kekuatan moral) yang dimulai dari para Penegak Hukum dan para Pembuat Undang-undang, dan tentu agar hukum harus dipatuhi oleh masyarakat, pemerintah harus berani menindak tegas bagi setiap anggota / kelompok masyarakat yang main hakin sendiri.

Memang hal itu tidaklah mudah karena budaya main hakim sendiri masih sering terjadi pula di kalangan para Penegak Hukum dan Elite Politik. Inilah suatu problema dilematis kronis yang sedang dihadapi bangsa ini. Yang pasti jangan biarkan kita mempertanyakan masalah penegakan hukum dan budaya main hakim sendiri yang sering terjadi kepada rumput yang bergoyang. ----


“ A D V O K A S I “

Oleh : Drs.M. SOFYAN LUBIS, SH.


 

Secara awam banyak difahami oleh masyarakat pengertian "advokasi" pasti berkaitan dengan tugasnya soseorang yang berprofesi sebagai advokat, dalam konteks ini advokat diartikan adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum dalam rangka melakukan pembelaan, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang advokat (vide UU No.18 tahun 2003 tentang Advokat). Sehingga tidak heran banyak para advokat juga mengartikan "advokasi" adalah sebagai bagian tugas dalam upaya pembelaan hukum terhadap hak-hak hukum kliennya. Begitu juga pengertian advokasi yang ada dibeberapa Lembaga Bantuan Hukum (LBH), semula program advokasi di LBH-LBH yang ada dititik-beratkan pada program pembelaan hukum yang dilakukan di pengadilan saja sebagai salah satu ciri khasnya, sehingga "advokasi" dimaknai sebagai kegiatan pembelaan di ruang-ruang pengadilan dalam rangka mencari keadilan serta menegakkan hak-hak hukum mereka yang dibela oleh pihak LBH, dan bidang yang menangani advokasi di LBH bersangkutan biasanya disebut dengan bidang Litigasi . Di Lembaga Bantuan Hukum atau LBH dulunya bidang advokasi merupakan bidang Litigasi yang lebih khusus diartikan sebagai upaya bantuan hukum yang diberikan secara cuma-cuma kepada masyarakat kurang mampu secara ekonomi, dan biasanya perkara yang ditangani adalah perkara struktural.

Di dalam perkembangannya advokasi tidak lagi difahami sebagai suatu upaya pembelaan hukum diruang pengadilan dalam rangka mencari keadilan, ruang pengadilan tidak lagi satu-satunya tempat untuk mewujudkan keadilan apalagi telah menjadi rahasia umum pengadilan yang koruptif justru menjadi tempat dan sumber ketidakadilan itu sendiri (political stage). Di samping itu berangkat dari fakta-fakta sosial tentang banyak terjadi ketimpangan sosial, ketidak-adilan sosial, keterbelakangan sosial di tengah masyarakat Indonesia, dimana diketahui akar masalah terjadinya ketidakadilan, keterbelakangan dan ketimpangan sosial itu selalu bersumber dari beberapa indikator yang antara lain ; terhambatnya mekanisme keputusan politik atau kebijakan public service yang kurang memihak kepada rakyat banyak, kurang dihormatinya hak-hak asasi manusia, hak sipil-politik, hak ekonomi, hak sosial dan budaya, partisipasi politik rakyat banyak tidak terakomodir dengan baik dalam pengambilan keputusan politik dan kebijakan-kebijakan pemerintah, sehingga kesemua itu pada gilirannya membuat kehidupan berbangsa dan bernegara tidak demokratis. Atas dasar ini "advokasi" memiliki dimensi pengertian yang sangat luas, bahkan pengertiannya sangat tergantung pada situasi secara kontekstual. Dalam konteks ini "advokasi" dapat diartikan: sebagai segala upaya legal yang sistematis dan terorganisir baik itu dalam mempengaruhi dan mensosialisasikan nilai-nilai yang bermanfaat bagi rakyat banyak sehingga terjadi perubahan prilaku dan kemampuan masyarakat luas untuk melakukan dan memperjuangkan seluruh hak-haknya secara mandiri, maupun segala upaya yang ditujukan kepada pemerintah dan/atau kepada semua -pihak yang menguasai hajat hidup orang banyak agar mengubah kebijakan, system dan program yang ada demi terciptanya keadilan sosial yang demokratis.

Berangkat dari pengertian "advokasi" ini, advokasi bukan lagi sekedar pembelaan hukum yang dilakukan di ruang pengadilan untuk mewujudkan keadilan, advokasi merupakan suatu pembelaan terhadap hak-hak asasi manusia, hak sipil-politik, hak ekonomi, sosial dan budaya yang secara konprehensif diperjuangkan melalui akar masalahnya. Karena advokasi disini dilakukan secara sistematis dan terorganisir, maka advokasi merupakan kerja dari koalisi dari sumber daya manusia yang kapabel, mempunyai rumusan tujuan dan sasaran yang jelas, harus mempunyai data dan informasi baik kuantitatif maupun kualitatif dari semua aspek sasaran terkait, mempunyai paket-paket pesan yang jelas untuk disampaikan kepada sasaran dan seluruh pihak terkait, melakukan evaluasi agar ditemukan cara yang lebih tepat dalam mencapai target advokasi; dan yang tidak kalah pentingnya upaya advokasi harus memiliki dana yang cukup untuk mengoperasionalkan program-programnya, oleh karenanya advokasi harus mempunyai konsep yang menyangkut legitimasi, dan ini merujuk terhadap apa dan siapa yang diwakili supaya didengar oleh masyarakat dan pemerintah ; mempunyai kredibilitas dan ini merujuk pada hubungan baik antara organisasi dengan konstituennya agar advokasi dapat dipercaya ; mempunyai kekuasaan sebagai modal untuk bargaining dan ini biasanya merujuk pada jumlah orang yang dapat dimotivasi ; dan memiliki akuntabilitas, yaitu bentuk pertanggungjawaban kepada publik khususnya yang diwakilinya karena pertanggungjawaban itu memang merupakan hak mereka ; Advokasi sangat diperlukan dalam masyarakat kita agar nilai-nilai pembangunan dapat diserap dengan baik sehingga terbangun manusia Indonesia seutuhnya yang bermartabat yang mengerti hak dan kewajibannya sebagai warganegara dalam iklim yang sehat dan demokratis. Disini, peran dari LBH-LBH dan/atau LSM-LSM sangatlah besar, karena merekalah yang begittu concern dalam melakukan upaya advokasi.---------------

==========================

Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.

( Advokat, Sekretaris PERADI Bantul dan Pendiri LBH Konsumen & Kesehatan )

Sabtu, 20 November 2010

Pesan Sang Ayah Kepada Anaknya

  • Written by beritaku
  • Posted August 19, 2008 at 7:55 pm, update now

Untuk jadi bahan renungan kita semua…

Dahulu kala ada 2 orang kakak beradik. Sebelum meninggal, ayah mereka berpesan dua hal :
1. Jangan menagih hutang kepada orang yang berhutang kepadamu
2. Jika mereka pergi dari rumah ke toko jangan sampai mukanya terkena sinar matahari.

Waktu berjalan terus. Dan kenyataan terjadi, bahwa beberapa tahun setelah ayahnya meninggal anak yang sulung bertambah kaya sedang yang bungsu menjadi semakin miskin.
Ibunya yang masih hidup menanyakan hal itu kepada mereka.

Jawab anak yang bungsu :
Inilah karena saya mengikuti pesan ayah. Ayah berpesan bahwa saya tidak boleh menagih hutang kepada orang yang berhutang kepadaku, dan sebagai akibatnya modalku susut karena orang yang berhutang kepadaku tidak membayar sementara aku tidak boleh menagih. Juga ayah berpesan supaya kalau saya pergi atau pulang dari rumah ke toko dan sebaliknya tidak boleh terkena sinar matahari. Akibatnya saya harus naik becak atau andong. Sebetulnya dengan jalan kaki saja cukup, tetapi karena pesan ayah demikian maka akibatnya pengeluaranku bertambah banyak.

Kepada anak yang sulung yang bertambah kaya, sang ibupun bertanya hal yang sama.

Jawab anak sulung :
Ini semua adalah karena saya mentaati pesan ayah. Karena ayah berpesan supaya saya tidak menagih kepada orang yang berhutang kepada saya, maka saya tidak menghutangkan sehingga dengan demikian modal tidak susut. Juga ayah berpesan agar supaya jika saya berangkat ke toko atau pulang dari toko tidak boleh terkena sinar matahari, maka saya berangkat ke toko sebelum matahari terbit dan pulang sesudah matahari terbenam. Akibatnya toko saya buka sebelum toko lain buka, dan tutup jauh sesudah toko yang lain tutup. Sehingga karena kebiasaan itu, orang menjadi tahu dan tokoku menjadi laris, karena mempunyai jam kerja lebih lama.

Bagaimana dengan anda??

Kisah diatas menunjukkan bagaimana sebuah kalimat ditanggapi dengan presepsi yang berbeda jika kita melihat dengan positive attitude maka segala kesulitan sebenarnya adalah sebuah perjalanan membuat kita sukses tetapi kita bisa juga terhanyut dengan adanya kesulitan karena rutinitas kita.. pilihan ada di tangan kita.
a. Berusaha melakukan hal biasa yang dikerjakan dengan cara yang luar biasa.
b. Mengubah diri Anda sendiri, biasanya merupakan cara terbaik untuk merubah orang.

(sumber : blog beritaku)

Jumat, 19 November 2010

"Mempertanyakan Idealisme Penegakan Hukum Kita"


 

Drs. M. Sofyan Lubis, SH.


Faham tentang cita-cita penegakan hukum di Indonesia, sebenarnya tidak lari dari substansi nilai-nilai Pancasila, yang salah satunya adalah, "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Keadilan telah sejak zaman Yunani merupakan cita-cita hukum tertinggi. Tentang apakah makna dan batasan tentang "Keadilan" itu, sampai saat ini tampaknya belum ada satu definisi pun yang merepresentasi telah diakui dan diterima sumua pihak tentang apa batasan "keadilan" itu; bahkan relativitas keadilan memunculkan pendapat, bahwa "keadilan tertinggi itu adalah ketidak-adilan tertinggi". 

Jika berpijak kepada pendapat ini, jelas kiranya kita sangat skeptis terhadap apa yang sedang dikerjakan oleh seluruh pengadilan di semua negara, termasuk Indonesia. Apalagi kita ketahui dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia, para penegak hukumnya jarang konsisten tentang apa arti pentingnya hukum itu ditegakkan. 

Sungguhpun ada yang tahu betul, dalam praktiknya mereka pura-pura tidak tahu, bahkan "tidak mau tahu" perlunya hukum ditegakkan, sehingga praktiknya terdapat jurang perbedaan antara dassein dengan dassollen, atau antara keharusan dengan kenyataan, atau antara idealita dengan realita tentang proses dan tujuan penegakan hukum itu sendiri.
Sehingga budaya penegakan hukum di Indonesia bersifat oportunis, hypokrit dan tidak akuntabel. Penegakan hukum yang akuntabel dapat diartikan sebagai suatu upaya pelaksanaan penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, bangsa dan negara yang berkaitan terhadap adanya kepastian hukum dalam sistem hukum yang berlaku.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan, sehingga muncul stigma adanya "Mafia Peradilan" (baca : bukan mafia pengadilan). Karena budaya penegakan hukum yang rusak yang mengakar dari lemahnya iman dan taqwa serta ekonomi Penegak Hukum. Bahkan ternyata tanpa disadari "masyarakat" ikut berperan atas rusaknya penegakan hukum di Indonesia. Salah satu penyebab ialah masyarakat kita lebih menyenangi proses penyelesaian hukum yang serba instan sehingga tidak segan-segan mengeluarkan uang untuk "menyuap" penegak hukum asal masalahnya cepat selesai. Dan anehnya "masyarakatpun" malah mempersoalkan adanya "suap-menyuap" dalam penegakan hukum, padahal masyarakat sudah sangat terbiasa bagaimana mengatasinya jika terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukannya, apakah itu bentuk pelanggaran lalu-lintas, penyuapan agar kasusnya menang di pengadilan atau melakukan delik-delik umum, atau melakukan tindak pidana korupsi, tidak menjadi masalah lagi dimana sebagian besar masyarakat kita telah sangat hapal bagaimana mempengaruhi proses hukum yang berjalan agar ia dapat terlepas dari jerat hukum.

Kenyataan ini merupakan salah satu indikator buruknya kebudayaan dan prilaku hukum di negeri ini.


Kita perlu membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel dan kebudayaan hukum dengan titik fokus membangun prilaku hukum, antara lain :
1). Penyempurnaan atau memperbaharui serta melengkapi perangkat hukum dan perundang-undangan yang ada ;
2) Ditingkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Penegak Hukum baik dari segi moralitas, intelektualitasnya, dan kesejahteraan ;
3). Dibentuknya suatu lembaga pengawas penegakan hukum di Indonesia yang independen yang dapat memberi merekomendasi tentang sanksi bagi penegak hukum yang nakal, dan melanggar Hak Asasi manusia (HAM) ;
4) Dilakukannya sosialisasi hukum dan perundang-undangan secara intensif kepada masyarakat luas dan membangun kebudayaan hukum yang tercermin dari prilaku hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat sebagai konsekuensi asas hukum yang mengatakan bahwa ; "setiap masyarakat dianggap tahu hukum" ;
5) Membangun tekad (komitmen) bersama dari para penegak hukum yang konsisten. Komitmen ini diharapkan dapat lahir terutama yang dimulai dan diprakarsai oleh "Catur Wangsa" atau 4 unsur Penegak Hukum, yaitu : Hakim, Advokat, Jaksa dan Polisi, kemudian komitmen tersebut dapat dicontoh dan diikuti pula oleh seluruh lapisan masyarakat ;
Namun usul langkah-langkah di atas untuk membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel tentu tidak dapat berjalan mulus tanpa ada dukungan penuh dari Pemerintahan yang bersih ('clean government'), karena penegakan hukum ('law enforcement') adalah bagian dari sistem hukum pemerintahan. Pemerintahan negara ( 'lapuissance de executrice') harus menjamin kemandirian institusi penegak hukum yang dibawahinya dalam hal ini institusi "Kejaksaan" dan "Kepolisian" karena sesungguhnya terjaminnya institusi penegakan hukum merupakan platform dari politik hukum pemerintah yang berupaya mengkondisi tata-prilaku masyarakat Indonesia yang sadar dan patuh pada hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penegakan hukum yang akuntabel merupakan dasar dan bukti bahwa Indonesia benar-benar sebagai Negara Hukum ( 'rechtsstaat' ). Di samping itu rakyat harus diberitahu kriteria / ukuran yang dijadikan dasar untuk menilai suatu penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik guna menciptakan budaya kontrol dari masyarakat, tanpa itu penegakan hukum yang baik di Indonesia hanya ada di dunia maya.


 

Penulis : seorang Advokat & Pengamat Sosial


 


 

"Mempertanyakan Idealisme Penegakan Hukum Kita"


 

Drs. M. Sofyan Lubis, SH.


Faham tentang cita-cita penegakan hukum di Indonesia, sebenarnya tidak lari dari substansi nilai-nilai Pancasila, yang salah satunya adalah, "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Keadilan telah sejak zaman Yunani merupakan cita-cita hukum tertinggi. Tentang apakah makna dan batasan tentang "Keadilan" itu, sampai saat ini tampaknya belum ada satu definisi pun yang merepresentasi telah diakui dan diterima sumua pihak tentang apa batasan "keadilan" itu; bahkan relativitas keadilan memunculkan pendapat, bahwa "keadilan tertinggi itu adalah ketidak-adilan tertinggi". 

Jika berpijak kepada pendapat ini, jelas kiranya kita sangat skeptis terhadap apa yang sedang dikerjakan oleh seluruh pengadilan di semua negara, termasuk Indonesia. Apalagi kita ketahui dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia, para penegak hukumnya jarang konsisten tentang apa arti pentingnya hukum itu ditegakkan. 

Sungguhpun ada yang tahu betul, dalam praktiknya mereka pura-pura tidak tahu, bahkan "tidak mau tahu" perlunya hukum ditegakkan, sehingga praktiknya terdapat jurang perbedaan antara dassein dengan dassollen, atau antara keharusan dengan kenyataan, atau antara idealita dengan realita tentang proses dan tujuan penegakan hukum itu sendiri.
Sehingga budaya penegakan hukum di Indonesia bersifat oportunis, hypokrit dan tidak akuntabel. Penegakan hukum yang akuntabel dapat diartikan sebagai suatu upaya pelaksanaan penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, bangsa dan negara yang berkaitan terhadap adanya kepastian hukum dalam sistem hukum yang berlaku.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan, sehingga muncul stigma adanya "Mafia Peradilan" (baca : bukan mafia pengadilan). Karena budaya penegakan hukum yang rusak yang mengakar dari lemahnya iman dan taqwa serta ekonomi Penegak Hukum. Bahkan ternyata tanpa disadari "masyarakat" ikut berperan atas rusaknya penegakan hukum di Indonesia. Salah satu penyebab ialah masyarakat kita lebih menyenangi proses penyelesaian hukum yang serba instan sehingga tidak segan-segan mengeluarkan uang untuk "menyuap" penegak hukum asal masalahnya cepat selesai. Dan anehnya "masyarakatpun" malah mempersoalkan adanya "suap-menyuap" dalam penegakan hukum, padahal masyarakat sudah sangat terbiasa bagaimana mengatasinya jika terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukannya, apakah itu bentuk pelanggaran lalu-lintas, penyuapan agar kasusnya menang di pengadilan atau melakukan delik-delik umum, atau melakukan tindak pidana korupsi, tidak menjadi masalah lagi dimana sebagian besar masyarakat kita telah sangat hapal bagaimana mempengaruhi proses hukum yang berjalan agar ia dapat terlepas dari jerat hukum.

Kenyataan ini merupakan salah satu indikator buruknya kebudayaan dan prilaku hukum di negeri ini.


Kita perlu membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel dan kebudayaan hukum dengan titik fokus membangun prilaku hukum, antara lain :
1). Penyempurnaan atau memperbaharui serta melengkapi perangkat hukum dan perundang-undangan yang ada ;
2) Ditingkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Penegak Hukum baik dari segi moralitas, intelektualitasnya, dan kesejahteraan ;
3). Dibentuknya suatu lembaga pengawas penegakan hukum di Indonesia yang independen yang dapat memberi merekomendasi tentang sanksi bagi penegak hukum yang nakal, dan melanggar Hak Asasi manusia (HAM) ;
4) Dilakukannya sosialisasi hukum dan perundang-undangan secara intensif kepada masyarakat luas dan membangun kebudayaan hukum yang tercermin dari prilaku hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat sebagai konsekuensi asas hukum yang mengatakan bahwa ; "setiap masyarakat dianggap tahu hukum" ;
5) Membangun tekad (komitmen) bersama dari para penegak hukum yang konsisten. Komitmen ini diharapkan dapat lahir terutama yang dimulai dan diprakarsai oleh "Catur Wangsa" atau 4 unsur Penegak Hukum, yaitu : Hakim, Advokat, Jaksa dan Polisi, kemudian komitmen tersebut dapat dicontoh dan diikuti pula oleh seluruh lapisan masyarakat ;
Namun usul langkah-langkah di atas untuk membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel tentu tidak dapat berjalan mulus tanpa ada dukungan penuh dari Pemerintahan yang bersih ('clean government'), karena penegakan hukum ('law enforcement') adalah bagian dari sistem hukum pemerintahan. Pemerintahan negara ( 'lapuissance de executrice') harus menjamin kemandirian institusi penegak hukum yang dibawahinya dalam hal ini institusi "Kejaksaan" dan "Kepolisian" karena sesungguhnya terjaminnya institusi penegakan hukum merupakan platform dari politik hukum pemerintah yang berupaya mengkondisi tata-prilaku masyarakat Indonesia yang sadar dan patuh pada hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penegakan hukum yang akuntabel merupakan dasar dan bukti bahwa Indonesia benar-benar sebagai Negara Hukum ( 'rechtsstaat' ). Di samping itu rakyat harus diberitahu kriteria / ukuran yang dijadikan dasar untuk menilai suatu penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik guna menciptakan budaya kontrol dari masyarakat, tanpa itu penegakan hukum yang baik di Indonesia hanya ada di dunia maya.


 

Penulis : seorang Advokat & Pengamat Sosial