Breaking News

Rabu, 22 April 2009

FENOMENA DISKRESI VS KORUPSI

Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.

Menurut Penulis, Diskresi adalah kebijakan dari pejabat yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan dimana undang-undang belum mengaturnya secara tegas, dengan tiga syarat. yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).

Sedang Pakar hukum Administrasi Negara UI, Prof. Benyamin Hossein mendefinikan “Diskresi, adalah kebebasan Pejabat dalam mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri”. Sedang menurut DR.T.Gayus Lumbuun,SH., MH., “Diskresi adalah, kebijakan dari pejabat negara dari pusat sampai daerah yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan UU, dengan tiga syarat. Yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik” dan penulis tidak sependapat dengan pendapat bung Gayus tersebut.

Terkait dengan diskresi, memang batasan diskresi sampai saat ini masih kurang jelas,kurang tegas, alias abu-abu banyak kontraversial antara satu dengan lainnya, sehingga hak diskresi ini sangat berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi dalam bentuk gratifikasi.

Penulis sepakat Diskresi memang diperlukan karena lingkup aturan tidak menjangkau secara komprehensif dan detail bagaimana setiap Pejabat dapat menjalankan tugas, wewenang dan tanggungjawabnya di lapangan, sehingga diperlukan ada pertimbangan dan kebijakan subyektif dari Pejabat publik bersangkutan demi kelancaran tugas-tugasnya. UUD 1945 tidak memuat ketentuan yang melarang pemberian diskresi. Namun dalam praktiknya tidak sedikit Pejabat cenderung menyalahgunakan hak diskresi yang dimilikinya, terutama pada Pejabat Penegak Hukum baik di tingkat Penyidik POLRI, maupun ditingkat Penyidik Kejaksaan. Sebagai contoh bagaimana diskresi digunakan dalam mensikapi pasal 31 ayat (1) juncto pasal 21 ayat (1) dan ayat (4) KUHAP Juncto pasal 35 dan 36 PPRI No.27 Tahun 1983 tentang Palaksanaan KUHAP.

Adanya alasan subyektif memang memberikan diskresi atau keleluasaan pada pihak penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk mengabulkan atau tidak mengabulkan permohonan keberatan atas dilakukan penahanan terhadap diri tersangka atau terdakwa, atau menyangkut adanya permohonan penangguhan atau pengalihan jenis penahanan terhadap diri tersangka/terdakwa. Karena kegunaan penahanan telah diatur dalam pasal 20 ayat (1), (2) dan (3) KUHAP dan dengan memperhatikan pasal 31 ayat (1) KUHAP pejabat bersangkutan dapat melakukan penangguhan dengan atau tanpa jaminan uang atau orang dengan syarat yang ditentukan. Namun dalam praktiknya walaupun secara hukum telah memenuhi syarat, belum tentu permohonan dari keluarga tersangka atau Penasihat Hukumnya tentang penangguhan atau pengalihan jenis penahanan tersangka atau terdakwa yang disertai adanya jaminan dapat dikabulkan begitu saja oleh Pejabat bersangkutan. Karena Pejabat bersangkutan punyak hak diskresi untuk menafsirkan sendiri baik untuk menolak atau mengabulkannya.

Kalau untuk pejabat publik lainnya Asas-asas Umum Pemerintahan yang baik (AUPB) dapat sebagai ukuran digunakannya hak diskresi, namun bagi Pejabat POLRI, diskresi ada dasar hukumnya dan ini dapat dilihat dalam UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian dan UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP. Dalam pasal 15 ayat (2) huruf k Jo. Pasal 16 ayat (1) huruf l disebutkan, ”Dalam rangka menyelenggarakan tugas di bidang proses pidana, POLRI berwenang untuk mengadakan tindakan lain dalam bentuk tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan sbb : a) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum ; b) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan ; c) harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya ; d) pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa ; dan e) menghormati hak asasi manusia. Hak diskresi juga terdapat dalam pasal 18 ayat (1) dan (2) UU No.2 tahun 2002 yang menyebutkan, untuk kepentingan umum Pejabat POLRI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri, yang dilakukan dalam keadaan sangat perlu dengan memperhatikan peraturan dan perundang-undangan, serta kode etik profesi POLRI.

Tindakan diskresi dapat dianggap sebagai tindak pidana korupsi apabila Pejabat bersangkutan mendapatkan atau menjanjikan akan mendapatkan hadiah atau keuntungan yang berupa uang ataupun barang yang berkaitan dengan tugas, jabatan ataupun kewenangannya.

Penulis adalah Advokat di Kantor Hukum LHS & Partners (www.kantorhukum-lhs.com)