Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.
Demokrasi Modern menurut definisi aslinya adalah bentuk pemerintahan yang di dalamnya banyak keputusan pemerintah atau di belakang kebijakan yang menimbulkan keputusan itu lahir dari suara terbanyak yakni dari mayoritas di pemerintahan atau di belakang kebijakan yang menimbulkan keputusan itu lahir dari suara terbanyak, yakni dari mayoritas di pemerintahan (consent of a majority of adult governed).
Namun batasan konseptual yang mudah difahami tentang “demokrasi” adalah, suatu proses dari system penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan suatu negara yang dijalankan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sedang batasan operasional dari “demokrasi” adalah, bagaimana indikator demokrasi berjalan sebagaimana mestinya. Dan itu dapat diketahui dengan mengukur dan mempertanyakan indikator demokrasi tersebut, seperti : 1. Tingkat sehat tidaknya penyelenggaraan Pemilu ; 2. Tentang sehat tidaknya bangsa ini atau tokoh-tokoh politik dalam bermusyawarah (negosiasi); 3. Tentang sehat tidaknya partisipasi rakyat dalam mempengaruhi kebijakan publik suatu Pemerintahan ; 4. Tentang sehat tidaknya hak-hak wakil rakyat dipergunakan dalam mengkontrol jalannya pemerintahan, seperti : hak angket, hak budget, hak interplasi, hak amandemen dan hak-hak lainnya.
Untuk mengukur suatu negara demokratis atau tidak, harus diukur dari batasan atau dari definisi operasi dari demokrasi, bukan definisi konsep dari demokrasi itu.
Sudah menjadi fakta sejarah demokrasi di Indonesia yang ada selama ini serasa jauh dari ruh atau tondi dari demokrasi itu sendiri. Hal ini dapat diketahui dari : 1. Partisipasi rakyat dapat dibeli dengan uang ; 2. Pemilu dari masa kemasa penuh dengan kecurangan ; 3. Pamer kekuatan massa menjadi kebanggaan dari banyak partai-partai politik untuk melakukan tekanan-tekanan ; 4. Saat bangsa ini atau tokoh-tokokh politik berbeda pendapat di dalam bermusyawarah atau bernegosiasi maka perbedaan tersebut menjadi bibit permusuhan ; 5. hak-hak DPR sebagai mekanisme kontrol terhadap Pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya ; 6. Cita-cita jadi anggota Legislatif tidak diragukan apakah didasarkan pada Nasionalisme yang bertujuan akan memperjuangkan cita-cita bangsa ini sebagaimana terdapat di dalam alinea ke IV Pembukaan UUD 1945 ;
Cita-cita bangsa dan Nasionalisme inilah yang harus diperjuangkan dan ditegakkan para sang Caleg jika ia nantinya menjadi anggota Legislatif di Parlemen. Sedangkan seperti kita ketahui kebanyakan dari anak bangsa ini ingin jadi anggota legislatif hanya sekedar mencari prestige atau gengsi sosial, sehingga kebanyakan dari mereka setelah kekuatan dan modal dikerahkan sang Caleg sekedar untuk menjadi anggota legislatif dan jika gagal tentu tidak sedikit pula yang menderita stress bahkan menderita sakit jiwa.Tidak berlebihan kalau iman dan taqwa para calon pemimpin bangsa ini perlu diragukan atau bahkan mungkin cara berpikir bangsa ini memang sudah pada sakit, sehingga tidak faham bagaimana kita hidup berbangsa dan bernegara. Mungkin juga banyak yang tidak faham bahwa ikut dalam partai politik sesungguhnya dia sedang membawa misi ideologi yang harus diperjuangkan untuk membuat bangsa ini makmur dan bermartabat. Bahkan mungkin juga kita tidak lagi memiliki ikatan batin sebagai sebuah bangsa yang besar atau juga kita sudah kehilangan jejak bagaimana menghormati sejarah luhur perjuangan bangsa ini dari terhina akibat penjajahan menjadi bangsa yang merdeka yang mana semua itu dibayar dengan darah, nyawa dan air mata para Pejuang kemerdekaan bangsa ini.
Kita sekarang memang tidak lagi dijajah oleh bangsa asing, namun tidak dapat dipungkiri kita saat ini dijajah oleh bangsa sendiri yang terkotak-kotak dalam ikatan primordialisme yang dampaknya jauh lebih kejam dari penjajahan bangsa asing itu sendiri.
Untuk menyelamatkan semua ini kita harus bangkit dan mengenal sejarah dan cita-cita bangsa ini serta menjalankan demokrasi Pancasila yang sudah disepakati serta mengedepankan Iman dan Taqwa, Kemnusiaan dan Nasionalisme dalam budaya prilaku kita berpolitik dan berdemokrasi ketika kita ingin mendapatkan kekuasaan yang sah demi mewujudkan cita-cita bangsa ini ke depan.
Namun dalam proses itu semua harus dilakukan melalui koridor Penegakan Hukum Yang Baik dan tersedianya Sumber Daya Manusia yang baik dalam penegakan hukum (Law Enforcement) yang diiringi terbangunnya budaya prilaku bangsa Indonesia untuk selalu patuh dengan hukum setiap harinya, apalagi pada saat kita melaksanakan pesta demokrasi.
Fakta yang ada adalah, bangsa ini miskin pendidikan, miskin partisipasi politik karena hak suaranya telah dibeli, miskin keamanan dan kebebasan dalam hidup rukun berdampingan dan miskin keadilan serta miskin kepastian hukum dalam hidup berbangsa dan bernegara apalagi pada setiap penyelenggaraan Pemilu. Rakyat yang miskin bukanlah hal yang ideal untuk diajak berdemokrasi, apalagi ditengah carut-marutnya penegakan hukum, maka dalam situasi seperti ini mustahil tujuan negara Indonesia dapat tercapai dengan baik, mustahil demokrasi dan pemilu berjalan mulus tanpa ada kecurangan. Bahkan pembangunan cenderung berdampak sebaliknya yaitu membuat rakyat semakin miskin, merusak system dan prilaku sosial dan merusak lingkungan hidup serta merajalelanya budaya korupsi yang semakin sulit dicegah. Bukankah fakta yang ada, dimana Indonesia dikenal sebagai sebuah negara dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, namun rakyatnya miskin ditengah-tengah kekayaannya. Ironis !!
Penulis, Advokat dari Kantor Hukum LHS & Partners
( www.kantorhukum-lhs.com )
Demokrasi Modern menurut definisi aslinya adalah bentuk pemerintahan yang di dalamnya banyak keputusan pemerintah atau di belakang kebijakan yang menimbulkan keputusan itu lahir dari suara terbanyak yakni dari mayoritas di pemerintahan atau di belakang kebijakan yang menimbulkan keputusan itu lahir dari suara terbanyak, yakni dari mayoritas di pemerintahan (consent of a majority of adult governed).
Namun batasan konseptual yang mudah difahami tentang “demokrasi” adalah, suatu proses dari system penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan suatu negara yang dijalankan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sedang batasan operasional dari “demokrasi” adalah, bagaimana indikator demokrasi berjalan sebagaimana mestinya. Dan itu dapat diketahui dengan mengukur dan mempertanyakan indikator demokrasi tersebut, seperti : 1. Tingkat sehat tidaknya penyelenggaraan Pemilu ; 2. Tentang sehat tidaknya bangsa ini atau tokoh-tokoh politik dalam bermusyawarah (negosiasi); 3. Tentang sehat tidaknya partisipasi rakyat dalam mempengaruhi kebijakan publik suatu Pemerintahan ; 4. Tentang sehat tidaknya hak-hak wakil rakyat dipergunakan dalam mengkontrol jalannya pemerintahan, seperti : hak angket, hak budget, hak interplasi, hak amandemen dan hak-hak lainnya.
Untuk mengukur suatu negara demokratis atau tidak, harus diukur dari batasan atau dari definisi operasi dari demokrasi, bukan definisi konsep dari demokrasi itu.
Sudah menjadi fakta sejarah demokrasi di Indonesia yang ada selama ini serasa jauh dari ruh atau tondi dari demokrasi itu sendiri. Hal ini dapat diketahui dari : 1. Partisipasi rakyat dapat dibeli dengan uang ; 2. Pemilu dari masa kemasa penuh dengan kecurangan ; 3. Pamer kekuatan massa menjadi kebanggaan dari banyak partai-partai politik untuk melakukan tekanan-tekanan ; 4. Saat bangsa ini atau tokoh-tokokh politik berbeda pendapat di dalam bermusyawarah atau bernegosiasi maka perbedaan tersebut menjadi bibit permusuhan ; 5. hak-hak DPR sebagai mekanisme kontrol terhadap Pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya ; 6. Cita-cita jadi anggota Legislatif tidak diragukan apakah didasarkan pada Nasionalisme yang bertujuan akan memperjuangkan cita-cita bangsa ini sebagaimana terdapat di dalam alinea ke IV Pembukaan UUD 1945 ;
Cita-cita bangsa dan Nasionalisme inilah yang harus diperjuangkan dan ditegakkan para sang Caleg jika ia nantinya menjadi anggota Legislatif di Parlemen. Sedangkan seperti kita ketahui kebanyakan dari anak bangsa ini ingin jadi anggota legislatif hanya sekedar mencari prestige atau gengsi sosial, sehingga kebanyakan dari mereka setelah kekuatan dan modal dikerahkan sang Caleg sekedar untuk menjadi anggota legislatif dan jika gagal tentu tidak sedikit pula yang menderita stress bahkan menderita sakit jiwa.Tidak berlebihan kalau iman dan taqwa para calon pemimpin bangsa ini perlu diragukan atau bahkan mungkin cara berpikir bangsa ini memang sudah pada sakit, sehingga tidak faham bagaimana kita hidup berbangsa dan bernegara. Mungkin juga banyak yang tidak faham bahwa ikut dalam partai politik sesungguhnya dia sedang membawa misi ideologi yang harus diperjuangkan untuk membuat bangsa ini makmur dan bermartabat. Bahkan mungkin juga kita tidak lagi memiliki ikatan batin sebagai sebuah bangsa yang besar atau juga kita sudah kehilangan jejak bagaimana menghormati sejarah luhur perjuangan bangsa ini dari terhina akibat penjajahan menjadi bangsa yang merdeka yang mana semua itu dibayar dengan darah, nyawa dan air mata para Pejuang kemerdekaan bangsa ini.
Kita sekarang memang tidak lagi dijajah oleh bangsa asing, namun tidak dapat dipungkiri kita saat ini dijajah oleh bangsa sendiri yang terkotak-kotak dalam ikatan primordialisme yang dampaknya jauh lebih kejam dari penjajahan bangsa asing itu sendiri.
Untuk menyelamatkan semua ini kita harus bangkit dan mengenal sejarah dan cita-cita bangsa ini serta menjalankan demokrasi Pancasila yang sudah disepakati serta mengedepankan Iman dan Taqwa, Kemnusiaan dan Nasionalisme dalam budaya prilaku kita berpolitik dan berdemokrasi ketika kita ingin mendapatkan kekuasaan yang sah demi mewujudkan cita-cita bangsa ini ke depan.
Namun dalam proses itu semua harus dilakukan melalui koridor Penegakan Hukum Yang Baik dan tersedianya Sumber Daya Manusia yang baik dalam penegakan hukum (Law Enforcement) yang diiringi terbangunnya budaya prilaku bangsa Indonesia untuk selalu patuh dengan hukum setiap harinya, apalagi pada saat kita melaksanakan pesta demokrasi.
Fakta yang ada adalah, bangsa ini miskin pendidikan, miskin partisipasi politik karena hak suaranya telah dibeli, miskin keamanan dan kebebasan dalam hidup rukun berdampingan dan miskin keadilan serta miskin kepastian hukum dalam hidup berbangsa dan bernegara apalagi pada setiap penyelenggaraan Pemilu. Rakyat yang miskin bukanlah hal yang ideal untuk diajak berdemokrasi, apalagi ditengah carut-marutnya penegakan hukum, maka dalam situasi seperti ini mustahil tujuan negara Indonesia dapat tercapai dengan baik, mustahil demokrasi dan pemilu berjalan mulus tanpa ada kecurangan. Bahkan pembangunan cenderung berdampak sebaliknya yaitu membuat rakyat semakin miskin, merusak system dan prilaku sosial dan merusak lingkungan hidup serta merajalelanya budaya korupsi yang semakin sulit dicegah. Bukankah fakta yang ada, dimana Indonesia dikenal sebagai sebuah negara dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, namun rakyatnya miskin ditengah-tengah kekayaannya. Ironis !!
Penulis, Advokat dari Kantor Hukum LHS & Partners
( www.kantorhukum-lhs.com )