Breaking News

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 22 April 2009

DEMOKRASI, PEMILU DAN PENEGAKAN HUKUM

Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.

Demokrasi Modern menurut definisi aslinya adalah bentuk pemerintahan yang di dalamnya banyak keputusan pemerintah atau di belakang kebijakan yang menimbulkan keputusan itu lahir dari suara terbanyak yakni dari mayoritas di pemerintahan atau di belakang kebijakan yang menimbulkan keputusan itu lahir dari suara terbanyak, yakni dari mayoritas di pemerintahan (consent of a majority of adult governed).

Namun batasan konseptual yang mudah difahami tentang “demokrasi” adalah, suatu proses dari system penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan suatu negara yang dijalankan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sedang batasan operasional dari “demokrasi” adalah, bagaimana indikator demokrasi berjalan sebagaimana mestinya. Dan itu dapat diketahui dengan mengukur dan mempertanyakan indikator demokrasi tersebut, seperti : 1. Tingkat sehat tidaknya penyelenggaraan Pemilu ; 2. Tentang sehat tidaknya bangsa ini atau tokoh-tokoh politik dalam bermusyawarah (negosiasi); 3. Tentang sehat tidaknya partisipasi rakyat dalam mempengaruhi kebijakan publik suatu Pemerintahan ; 4. Tentang sehat tidaknya hak-hak wakil rakyat dipergunakan dalam mengkontrol jalannya pemerintahan, seperti : hak angket, hak budget, hak interplasi, hak amandemen dan hak-hak lainnya.

Untuk mengukur suatu negara demokratis atau tidak, harus diukur dari batasan atau dari definisi operasi dari demokrasi, bukan definisi konsep dari demokrasi itu.

Sudah menjadi fakta sejarah demokrasi di Indonesia yang ada selama ini serasa jauh dari ruh atau tondi dari demokrasi itu sendiri. Hal ini dapat diketahui dari : 1. Partisipasi rakyat dapat dibeli dengan uang ; 2. Pemilu dari masa kemasa penuh dengan kecurangan ; 3. Pamer kekuatan massa menjadi kebanggaan dari banyak partai-partai politik untuk melakukan tekanan-tekanan ; 4. Saat bangsa ini atau tokoh-tokokh politik berbeda pendapat di dalam bermusyawarah atau bernegosiasi maka perbedaan tersebut menjadi bibit permusuhan ; 5. hak-hak DPR sebagai mekanisme kontrol terhadap Pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya ; 6. Cita-cita jadi anggota Legislatif tidak diragukan apakah didasarkan pada Nasionalisme yang bertujuan akan memperjuangkan cita-cita bangsa ini sebagaimana terdapat di dalam alinea ke IV Pembukaan UUD 1945 ;

Cita-cita bangsa dan Nasionalisme inilah yang harus diperjuangkan dan ditegakkan para sang Caleg jika ia nantinya menjadi anggota Legislatif di Parlemen. Sedangkan seperti kita ketahui kebanyakan dari anak bangsa ini ingin jadi anggota legislatif hanya sekedar mencari prestige atau gengsi sosial, sehingga kebanyakan dari mereka setelah kekuatan dan modal dikerahkan sang Caleg sekedar untuk menjadi anggota legislatif dan jika gagal tentu tidak sedikit pula yang menderita stress bahkan menderita sakit jiwa.Tidak berlebihan kalau iman dan taqwa para calon pemimpin bangsa ini perlu diragukan atau bahkan mungkin cara berpikir bangsa ini memang sudah pada sakit, sehingga tidak faham bagaimana kita hidup berbangsa dan bernegara. Mungkin juga banyak yang tidak faham bahwa ikut dalam partai politik sesungguhnya dia sedang membawa misi ideologi yang harus diperjuangkan untuk membuat bangsa ini makmur dan bermartabat. Bahkan mungkin juga kita tidak lagi memiliki ikatan batin sebagai sebuah bangsa yang besar atau juga kita sudah kehilangan jejak bagaimana menghormati sejarah luhur perjuangan bangsa ini dari terhina akibat penjajahan menjadi bangsa yang merdeka yang mana semua itu dibayar dengan darah, nyawa dan air mata para Pejuang kemerdekaan bangsa ini.

Kita sekarang memang tidak lagi dijajah oleh bangsa asing, namun tidak dapat dipungkiri kita saat ini dijajah oleh bangsa sendiri yang terkotak-kotak dalam ikatan primordialisme yang dampaknya jauh lebih kejam dari penjajahan bangsa asing itu sendiri.

Untuk menyelamatkan semua ini kita harus bangkit dan mengenal sejarah dan cita-cita bangsa ini serta menjalankan demokrasi Pancasila yang sudah disepakati serta mengedepankan Iman dan Taqwa, Kemnusiaan dan Nasionalisme dalam budaya prilaku kita berpolitik dan berdemokrasi ketika kita ingin mendapatkan kekuasaan yang sah demi mewujudkan cita-cita bangsa ini ke depan.

Namun dalam proses itu semua harus dilakukan melalui koridor Penegakan Hukum Yang Baik dan tersedianya Sumber Daya Manusia yang baik dalam penegakan hukum (Law Enforcement) yang diiringi terbangunnya budaya prilaku bangsa Indonesia untuk selalu patuh dengan hukum setiap harinya, apalagi pada saat kita melaksanakan pesta demokrasi.

Fakta yang ada adalah, bangsa ini miskin pendidikan, miskin partisipasi politik karena hak suaranya telah dibeli, miskin keamanan dan kebebasan dalam hidup rukun berdampingan dan miskin keadilan serta miskin kepastian hukum dalam hidup berbangsa dan bernegara apalagi pada setiap penyelenggaraan Pemilu. Rakyat yang miskin bukanlah hal yang ideal untuk diajak berdemokrasi, apalagi ditengah carut-marutnya penegakan hukum, maka dalam situasi seperti ini mustahil tujuan negara Indonesia dapat tercapai dengan baik, mustahil demokrasi dan pemilu berjalan mulus tanpa ada kecurangan. Bahkan pembangunan cenderung berdampak sebaliknya yaitu membuat rakyat semakin miskin, merusak system dan prilaku sosial dan merusak lingkungan hidup serta merajalelanya budaya korupsi yang semakin sulit dicegah. Bukankah fakta yang ada, dimana Indonesia dikenal sebagai sebuah negara dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, namun rakyatnya miskin ditengah-tengah kekayaannya. Ironis !!

Penulis, Advokat dari Kantor Hukum LHS & Partners
( www.kantorhukum-lhs.com )

FENOMENA DISKRESI VS KORUPSI

Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.

Menurut Penulis, Diskresi adalah kebijakan dari pejabat yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan dimana undang-undang belum mengaturnya secara tegas, dengan tiga syarat. yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).

Sedang Pakar hukum Administrasi Negara UI, Prof. Benyamin Hossein mendefinikan “Diskresi, adalah kebebasan Pejabat dalam mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri”. Sedang menurut DR.T.Gayus Lumbuun,SH., MH., “Diskresi adalah, kebijakan dari pejabat negara dari pusat sampai daerah yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan UU, dengan tiga syarat. Yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik” dan penulis tidak sependapat dengan pendapat bung Gayus tersebut.

Terkait dengan diskresi, memang batasan diskresi sampai saat ini masih kurang jelas,kurang tegas, alias abu-abu banyak kontraversial antara satu dengan lainnya, sehingga hak diskresi ini sangat berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi dalam bentuk gratifikasi.

Penulis sepakat Diskresi memang diperlukan karena lingkup aturan tidak menjangkau secara komprehensif dan detail bagaimana setiap Pejabat dapat menjalankan tugas, wewenang dan tanggungjawabnya di lapangan, sehingga diperlukan ada pertimbangan dan kebijakan subyektif dari Pejabat publik bersangkutan demi kelancaran tugas-tugasnya. UUD 1945 tidak memuat ketentuan yang melarang pemberian diskresi. Namun dalam praktiknya tidak sedikit Pejabat cenderung menyalahgunakan hak diskresi yang dimilikinya, terutama pada Pejabat Penegak Hukum baik di tingkat Penyidik POLRI, maupun ditingkat Penyidik Kejaksaan. Sebagai contoh bagaimana diskresi digunakan dalam mensikapi pasal 31 ayat (1) juncto pasal 21 ayat (1) dan ayat (4) KUHAP Juncto pasal 35 dan 36 PPRI No.27 Tahun 1983 tentang Palaksanaan KUHAP.

Adanya alasan subyektif memang memberikan diskresi atau keleluasaan pada pihak penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk mengabulkan atau tidak mengabulkan permohonan keberatan atas dilakukan penahanan terhadap diri tersangka atau terdakwa, atau menyangkut adanya permohonan penangguhan atau pengalihan jenis penahanan terhadap diri tersangka/terdakwa. Karena kegunaan penahanan telah diatur dalam pasal 20 ayat (1), (2) dan (3) KUHAP dan dengan memperhatikan pasal 31 ayat (1) KUHAP pejabat bersangkutan dapat melakukan penangguhan dengan atau tanpa jaminan uang atau orang dengan syarat yang ditentukan. Namun dalam praktiknya walaupun secara hukum telah memenuhi syarat, belum tentu permohonan dari keluarga tersangka atau Penasihat Hukumnya tentang penangguhan atau pengalihan jenis penahanan tersangka atau terdakwa yang disertai adanya jaminan dapat dikabulkan begitu saja oleh Pejabat bersangkutan. Karena Pejabat bersangkutan punyak hak diskresi untuk menafsirkan sendiri baik untuk menolak atau mengabulkannya.

Kalau untuk pejabat publik lainnya Asas-asas Umum Pemerintahan yang baik (AUPB) dapat sebagai ukuran digunakannya hak diskresi, namun bagi Pejabat POLRI, diskresi ada dasar hukumnya dan ini dapat dilihat dalam UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian dan UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP. Dalam pasal 15 ayat (2) huruf k Jo. Pasal 16 ayat (1) huruf l disebutkan, ”Dalam rangka menyelenggarakan tugas di bidang proses pidana, POLRI berwenang untuk mengadakan tindakan lain dalam bentuk tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan sbb : a) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum ; b) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan ; c) harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya ; d) pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa ; dan e) menghormati hak asasi manusia. Hak diskresi juga terdapat dalam pasal 18 ayat (1) dan (2) UU No.2 tahun 2002 yang menyebutkan, untuk kepentingan umum Pejabat POLRI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri, yang dilakukan dalam keadaan sangat perlu dengan memperhatikan peraturan dan perundang-undangan, serta kode etik profesi POLRI.

Tindakan diskresi dapat dianggap sebagai tindak pidana korupsi apabila Pejabat bersangkutan mendapatkan atau menjanjikan akan mendapatkan hadiah atau keuntungan yang berupa uang ataupun barang yang berkaitan dengan tugas, jabatan ataupun kewenangannya.

Penulis adalah Advokat di Kantor Hukum LHS & Partners (www.kantorhukum-lhs.com)