Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.
Fenomena umum bagi setiap orang untuk mendapatkan sesuatu sebenarnya ada dua cara, yang pertama dengan cara atau jalur "hukum" dan yang kedua dengan cara atau jalur "kekerasan". Jika dengan jalur hukum orang mengalami frustrasi maka mereka cenderung menggunakan cara yang kedua. Cara yang sah untuk memperjuangkan "hak" bagi setiap warga negara adalah berjuang melalui jalur hukum. Hukum adalah rule of the game bagi semua interaksi manusia dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Supaya masyarakat menghormati hukum tidak dapat tidak hukum itu haruslah berwibawa agar dapat dipatuhi oleh semua warganegara. Namun dalam kenyataannya banyak masyarakat kita cenderung tidak patuh pada hukum karena wibawa hukum "tidak ada". Wibawa hukum sebagian besar terletak pada "komitmen, konsistensi dan kontinuitas" para Penegak Hukum dalam proses penegakan hukum itu sendiri. Seperti orang bijak berkata : "sebaik-baik hukum yang dibuat dan diberlakukan disuatu negara jika para Penegak Hukumnya brengsek maka artinya sama dengan brengseknya hukum itu sendiri".
Dalam kenyataannya dapat dibayangkan kalau "hukum" tidak lagi memberikan kepastian bagi seseorang untuk memperoleh keadilan yang menjadi haknya, dan/atau kalau "hukum" tidak lagi dapat dipercaya sebagai cara efektif untuk mengatur kehidupan bersama yang dapat memberikan rasa aman dan ketenteraman masyarakat, maka dapat dipastikan masyarakat akan cenderung menggunakan cara yang kedua yaitu dengan menggunakan "kekerasan" yang nota bene dengan cara main hakim sendiri ( eigenrichting ). Sebagai illustrasi kasus dapat kita segarkan kembali ingatan kita pada peristiwa hukum main hakim sendiri, antara lain : Perististiwa Pembunuhan dukun santet di Jawa-Timur, lebih kurang 200 orang dieksekusi mati tanpa proses hukum ; Konflik di Sambas dan Poso di Sulawesi ; Kerusuhan di Maluku ; Kekerasan di NAD ; Pengrusakan beberapa toko, kios dan rumah oleh mereka yang diketahui berpakaian ala ninja ; kekerasan yang dilakukan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas atas dasar SARA ; tawuran antar kelompok mahasiswa, antar kampung dan yang paling pahit dan memalukan untuk dikenang adalah perkelahian antara sesama anggota DPR RI pada pembukaan sidang tahunan 2001 pada tanggal 01 Nopember 2001 yang langsung disaksikan oleh ratusan juta rakyat Indonesia melalui layar kaca. Banyak lagi peristiswa senada yang tidak bisa kita paparkan satu demi satu. Intinya adalah budaya main hakim sendiri agaknya telah menjadi "megatrend" dalam masyarakat kita. Dan ini belum termasuk bagi mereka yang menghakimi harta kekayaan negara (para koruptor) yang merupakan sisi gelap lainnya yang menjadi budaya pula di negara kita. Dan juga belum termasuk bagi oknum para Penegak Hukum yang telah menghakimi tersangka terlebih dahulu sebelum menyerahkannya kepada Hakim beneran ; Main hakin sendiri mempunyai konotasi bahwa siapa yang kuat dia yang menang, jadi lebih mengarah pada substansi pengertian hukum rimba. Bila suatu negara dalam kehidupan masyarakatnya lebih dominan berlaku hukum rimba ketimbang hukum normatif yang legal formal maka masyarakat tersebut akan cenderung tunduk kepada kelompok-kelompok atau perorangan yang mempunyai kekuatan phisik, seperti kelompok tertentu yang mempunyai basis massa yang kuat atau kelompok-kelompok premanisme. Apalagi setiap menjelang Pemilu jika tidak segera diantisipasi dapat dipastikan setiap persoalan yang muncul dalam Pemilu akan cenderung diselesaikan dengan cara-cara yang berbau kekuatan phisik. Agaknya main hakim sendiri melalui kekuatan phisik sudah menjadi megatrend dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik dalam kehidupan sosial-politik yang lebih mengandalkan "kekuatan phisik" atau berorientasi pada basis massa yang kuat dalam mencapai tujuan-tujuan politiknya ketimbang menjual program politiknya. Sedang dalam kehidupan sosial ekonomi ditandai dengan banyaknya muncul "debt kolektor" dan/atau menggunakan kelompok-kelompok tertentu yang mempunyai kekuatan phisik yang ditakuti ketimbang menyelesaikan masalah ekonominya melalui negosiasi dan hukum. Semua penomena tersebut menunjukkan bahwa kelompok masyarakat kita cenderung menyiapkan kekuatan phisik sebagai langkah antisipasi dalam menyelesaikan setiap masalahnya ketimbang menggunakan jalur hukum yang mereka nilai tidak efektif.
Budaya main hakim sendiri pada perkembangannya akan melahirkan cara-cara lain seperti teror baik dengan sasaran psikologis maupun phisik, atau yang lebih halus seperti intimidasi, pembunuhan karakter dan lain sebagainya. Maka dalam membangun masarakat madani yang sadar dan patuh pada hukum kita harus secepatnya membangun moral force (kekuatan moral) yang dimulai dari para Penegak Hukum dan para Pembuat Undang-undang, dan tentu agar hukum harus dipatuhi oleh masyarakat, pemerintah harus berani menindak tegas bagi setiap anggota / kelompok masyarakat yang main hakin sendiri.
Memang hal itu tidaklah mudah karena budaya main hakim sendiri masih sering terjadi pula di kalangan para Penegak Hukum dan Elite Politik. Inilah suatu problema dilematis kronis yang sedang dihadapi bangsa ini. Yang pasti jangan biarkan kita mempertanyakan masalah penegakan hukum dan budaya main hakim sendiri yang sering terjadi kepada rumput yang bergoyang. ----