Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.
Negara-negara yang memiliki proses politik yang tidak stabil, sistem pemerintahan yang dikembangkan dengan tidak baik, dan rakyat yang miskin terbuka untuk disalahgunakan kaum oportunis yang menjanjikan pembangunan sumber daya atau infrastruktur dengan cepat, namun tidak mau bersaing dengan terbuka secara demokratis, mereka yang membawa janji-janji dan memberikan harapan masa depan yang lebih baik, namun cara mereka untuk menjalankan bisnis politiknya adalah merusak negerinya dengan korupsi adalah kondisi yang berseberangan dengan tunjuan kemerdekaan Indonesia untuk mengisinya dengan melakukan pembangunan nasional disegala bidang.
Kondisi seperti ini agaknya yang terjadi di Indonesia, dimana korupsi telah mewabah kemana-mana. Otonomi Daerah dalam sistem pemerintahan Indonesia yang dijalankan dalam banyak fakta adalah memindahkan korupsi yang ada di tingkat pusat ke daerah-daerah yang secara kuantitasnya justeru jauh lebih besar dari yang ada di tingkat pusat. Seperti kita ketahui korupsi merupakan kejahatan sosial yang harus diberantas melalui proses peradilan tindak kejahatan dan agar proses peradilan efektif, tidak cukup hanya dengan membuat peraturan-peraturan baik yang bersifat domestik maupun internasional akan tetapi harus terlebih dahulu membangun orang-orang yang dapat memberantas korupsi itu sendiri, tanpa membangun sumber daya manusia yang akan memberantas korupsi terdahulu mustahil korupsi dapat diberantas dengan baik.
Kita faham korupsi dapat terjadi disebabkan oleh 2 (dua) faktor yang serentak terjadi, yaitu adanya faktor “kesempatan” dan adanya faktor “rangsangan”, dimana faktor kesempatan selalu berhubungan dengan lemahnya sistem dan kualitas pengawasan, sedang faktor rangsangan selalu berhubungan dengan faktor lemahnya sikap mental dan moralitas sumber daya manusianya. Pejabat atau seseorang tidak akan korupsi kalau sikap mental dan moralitas pribadinya baik, sekalipun kesempatan terbuka lebar baginya untuk korupsi. Dan korupsi sulit terjadi dalam sistem dan kualitas pengawasan yang baik.
Namun kalau mental korupsi sudah menjadi budaya dalam bangsa ini, sementara nilai-nilai budaya cenderung abadi maka budaya korupsi akan sulit untuk diberantas, sekalipun perangkat hukum dan perundang-undangan tentang pemberantasan korupsi sudah begitu lengkap tetap saja korupsi di negara tidak bisa kita berantas. Sekarang ini kita telah begitu disibukkan memerangi dan mengadili tindak pidana korupsi yang terjadi di era pemerintahan Soeharto, sehingga biasnya secara politik dan ekonomi telah sangat mengganggu pembangunan nasional kita, dimana orang-orang besar yang terlibat baik di kalangan elit politik dan elit ekonomi sibuk mengamankan aset-asetnya ke luar negeri.
Melihat begitu banyaknya energi yang tersita untuk mengurusi korupsi dan sementara itu bagi koruptor yang ada di elit pemerintahan, elit politik dan elit ekonomi tentu mereka telah mengantisipasi bagaimana mengamankan posisinya secara yuridis agar tidak menjadi sasaran hukum di kemudian hari. Perioritas kita dalam pemberantasan korupsi tanpa disadari telah membuat kita lalai dan lupa mengurusi dengan serius masalah pembangunan bangsa yang telah begitu semrawut di tengah-tengah kemiskinan yang absolut yang dialami mayoritas bangsa Indonesia. Demi kepentingan rakyat apakah tidak sebaiknya kita mundur dulu ke belakang hentikan perseteruan di kalangan elit politik di negeri ini dengan tidak saling tuding melakukan korupsi, karena tidak ada satu gadingpun yang tak retak. Ciptakan dulu stabilitas politik, ekonomi, dan stabilitas keamanan. Bangun pendidikan dengan mengedepankan pembangunan akhlak dan nasionalisme bangsa, arahkan pemberantasan korupsi kepada era pemerintahan reformasi sekarang ini karena yang sangat perlu dikontrol dan diawasi adalah pemerintahan yang sekarang ini, sedang untuk para koruptor di era pemeritahan soeharto perlu ada solusi politis yang membuat mereka tertarik untuk mau membawa kembali aset-aset yang ada di luar negeri dalam bentuk penanaman modal atau membangun perusahaannya di Indonesia yang dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi rakyat banyak.
Benahi pembangunan nasional yang terlantar yang dimulai dengan memfungsikan Badan Pembangunan Nasional (BAPENAS) dalam menyusun dan merumuskan pembangunan nasional dan mengembalikan tahapan pembangunan di Indonesia dalam Rencana Pembanguna Lima Tahunan (REPELITA) dimana diharapkan pembangunan tersebut dapat dikontrol oleh rakyat banyak, sekaligus dapat diukur sejauh mana suatu era pemerintahan yang lagi berkuasa telah melakukan permbangunan terhadap bangsanya, karena secara jujur yang lebih dibutuhkan rakyat sekarang ini adalah cukupnya sandang, pangan dan papan, serta adanya rasa aman berusaha dalam kehidupan sehari-hari ketimbang janji-janji politik melulu ditengah-tengah prahara dan ketidakpastian masa depan !
Negara-negara yang memiliki proses politik yang tidak stabil, sistem pemerintahan yang dikembangkan dengan tidak baik, dan rakyat yang miskin terbuka untuk disalahgunakan kaum oportunis yang menjanjikan pembangunan sumber daya atau infrastruktur dengan cepat, namun tidak mau bersaing dengan terbuka secara demokratis, mereka yang membawa janji-janji dan memberikan harapan masa depan yang lebih baik, namun cara mereka untuk menjalankan bisnis politiknya adalah merusak negerinya dengan korupsi adalah kondisi yang berseberangan dengan tunjuan kemerdekaan Indonesia untuk mengisinya dengan melakukan pembangunan nasional disegala bidang.
Kondisi seperti ini agaknya yang terjadi di Indonesia, dimana korupsi telah mewabah kemana-mana. Otonomi Daerah dalam sistem pemerintahan Indonesia yang dijalankan dalam banyak fakta adalah memindahkan korupsi yang ada di tingkat pusat ke daerah-daerah yang secara kuantitasnya justeru jauh lebih besar dari yang ada di tingkat pusat. Seperti kita ketahui korupsi merupakan kejahatan sosial yang harus diberantas melalui proses peradilan tindak kejahatan dan agar proses peradilan efektif, tidak cukup hanya dengan membuat peraturan-peraturan baik yang bersifat domestik maupun internasional akan tetapi harus terlebih dahulu membangun orang-orang yang dapat memberantas korupsi itu sendiri, tanpa membangun sumber daya manusia yang akan memberantas korupsi terdahulu mustahil korupsi dapat diberantas dengan baik.
Kita faham korupsi dapat terjadi disebabkan oleh 2 (dua) faktor yang serentak terjadi, yaitu adanya faktor “kesempatan” dan adanya faktor “rangsangan”, dimana faktor kesempatan selalu berhubungan dengan lemahnya sistem dan kualitas pengawasan, sedang faktor rangsangan selalu berhubungan dengan faktor lemahnya sikap mental dan moralitas sumber daya manusianya. Pejabat atau seseorang tidak akan korupsi kalau sikap mental dan moralitas pribadinya baik, sekalipun kesempatan terbuka lebar baginya untuk korupsi. Dan korupsi sulit terjadi dalam sistem dan kualitas pengawasan yang baik.
Namun kalau mental korupsi sudah menjadi budaya dalam bangsa ini, sementara nilai-nilai budaya cenderung abadi maka budaya korupsi akan sulit untuk diberantas, sekalipun perangkat hukum dan perundang-undangan tentang pemberantasan korupsi sudah begitu lengkap tetap saja korupsi di negara tidak bisa kita berantas. Sekarang ini kita telah begitu disibukkan memerangi dan mengadili tindak pidana korupsi yang terjadi di era pemerintahan Soeharto, sehingga biasnya secara politik dan ekonomi telah sangat mengganggu pembangunan nasional kita, dimana orang-orang besar yang terlibat baik di kalangan elit politik dan elit ekonomi sibuk mengamankan aset-asetnya ke luar negeri.
Melihat begitu banyaknya energi yang tersita untuk mengurusi korupsi dan sementara itu bagi koruptor yang ada di elit pemerintahan, elit politik dan elit ekonomi tentu mereka telah mengantisipasi bagaimana mengamankan posisinya secara yuridis agar tidak menjadi sasaran hukum di kemudian hari. Perioritas kita dalam pemberantasan korupsi tanpa disadari telah membuat kita lalai dan lupa mengurusi dengan serius masalah pembangunan bangsa yang telah begitu semrawut di tengah-tengah kemiskinan yang absolut yang dialami mayoritas bangsa Indonesia. Demi kepentingan rakyat apakah tidak sebaiknya kita mundur dulu ke belakang hentikan perseteruan di kalangan elit politik di negeri ini dengan tidak saling tuding melakukan korupsi, karena tidak ada satu gadingpun yang tak retak. Ciptakan dulu stabilitas politik, ekonomi, dan stabilitas keamanan. Bangun pendidikan dengan mengedepankan pembangunan akhlak dan nasionalisme bangsa, arahkan pemberantasan korupsi kepada era pemerintahan reformasi sekarang ini karena yang sangat perlu dikontrol dan diawasi adalah pemerintahan yang sekarang ini, sedang untuk para koruptor di era pemeritahan soeharto perlu ada solusi politis yang membuat mereka tertarik untuk mau membawa kembali aset-aset yang ada di luar negeri dalam bentuk penanaman modal atau membangun perusahaannya di Indonesia yang dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi rakyat banyak.
Benahi pembangunan nasional yang terlantar yang dimulai dengan memfungsikan Badan Pembangunan Nasional (BAPENAS) dalam menyusun dan merumuskan pembangunan nasional dan mengembalikan tahapan pembangunan di Indonesia dalam Rencana Pembanguna Lima Tahunan (REPELITA) dimana diharapkan pembangunan tersebut dapat dikontrol oleh rakyat banyak, sekaligus dapat diukur sejauh mana suatu era pemerintahan yang lagi berkuasa telah melakukan permbangunan terhadap bangsanya, karena secara jujur yang lebih dibutuhkan rakyat sekarang ini adalah cukupnya sandang, pangan dan papan, serta adanya rasa aman berusaha dalam kehidupan sehari-hari ketimbang janji-janji politik melulu ditengah-tengah prahara dan ketidakpastian masa depan !