Demokrasi Modern menurut definisi aslinya adalah bentuk pemerintahan
yang di dalamnya banyak keputusan pemerintah atau di belakang kebijakan
yang menimbulkan keputusan itu lahir dari suara terbanyak yakni dari
mayoritas di pemerintahan atau di belakang kebijakan yang menimbulkan
keputusan itu lahir dari suara terbanyak, yakni dari mayoritas di
pemerintahan (consent of a majority of adult governed).
Namun
batasan konseptual yang mudah difahami tentang “demokrasi” adalah, suatu
proses dari system penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan suatu negara
yang dijalankan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Sedang batasan operasional dari “demokrasi” adalah, bagaimana indikator
demokrasi berjalan sebagaimana mestinya. Dan itu dapat diketahui dengan
mengukur dan mempertanyakan indikator demokrasi tersebut, seperti :
1. Tingkat sehat tidaknya penyelenggaraan Pemilu ;
2. Tentang sehat tidaknya bangsa ini atau tokoh-tokoh politik dalam bermusyawarah (negosiasi);
3. Tentang sehat tidaknya partisipasi rakyat dalam mempengaruhi kebijakan publik suatu Pemerintahan ;
4. Tentang sehat tidaknya hak-hak wakil rakyat dipergunakan dalam
mengkontrol jalannya pemerintahan, seperti : hak angket, hak budget, hak
interplasi, hak amandemen dan hak-hak lainnya.
Untuk mengukur
suatu negara demokratis atau tidak, harus diukur dari batasan atau
definisi operasi tentang demokrasi, bukan dari definisi konsep dari
demokrasi itu.
Sudah menjadi fakta sejarah demokrasi di Indonesia
yang ada selama ini serasa jauh dari ruh atau tondi dari demokrasi itu
sendiri. Hal ini dapat diketahui dari :
1. Partisipasi rakyat dapat dibeli dengan uang ;
2. Pemilu dari masa kemasa penuh dengan kecurangan ;
3. Pamer kekuatan massa menjadi kebanggaan dari banyak partai-partai politik untuk melakukan tekanan-tekanan ;
4. Saat bangsa ini atau tokoh-tokokh politik berbeda pendapat di dalam
bermusyawarah atau bernegosiasi maka perbedaan tersebut menjadi bibit
permusuhan ;
5. hak-hak DPR sebagai mekanisme kontrol terhadap Pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya ;
6. Cita-cita jadi anggota Legislatif tidak diragukan apakah didasarkan
pada Nasionalisme yang bertujuan akan memperjuangkan cita-cita bangsa
ini sebagaimana terdapat di dalam alinea ke IV Pembukaan UUD 1945 ;
Cita-cita bangsa dan Nasionalisme inilah yang harus diperjuangkan dan
ditegakkan oleh para sang Caleg jika ia nantinya terpilih menjadi
anggota Legislatif di Parlemen. Sedangkan seperti kita ketahui
kebanyakan dari anak bangsa ini ingin jadi anggota legislatif hanya
sekedar mencari prestige atau gengsi sosial, sehingga kebanyakan dari
mereka setelah kekuatan dan modal dikerahkan oleh sang Caleg untuk
menjadi anggota legislatif dan jika ada diantara mereka yang gagal
akibat psikologisnya tentu tidak sedikit pula yang menderita stres
bahkan sakit jiwa.
Mengingat fakta banyak para Caleg yang
terganggu kejiwaannya saat tidak terpilih menjadi anggota legislatif,
tentu tidak berlebihan kalau iman dan taqwa para calon pemimpin bangsa
ini dipertanyakan atau mungkin cara berpikir mereka ini memang
sebelumnya sudah pada sakit, karena kebanyakan mereka tidak faham betul
bagaimana seharusnya kita hidup berbangsa dan bernegara yang baik dan
sesesuai dengan ideologi Pancasila, atau mungkin juga mereka tidak faham
betul bahwa ikut dalam partai politik sesungguhnya mereka itu membawa
misi ideologi yang harus diperjuangkan untuk membuat bangsa ini
sejahtera, aman dan bermartabat, bukan hanya sekedar memperjuangkan
bagaimana mendapatkan kursi sebagai anggota legislatif atau berapa
banyak jumlah kursi yang bisa didapat oleh partai pengusungnya di
Parlemen.
Bahkan mungkin juga kita tidak lagi memiliki ikatan
batin sebagai sebuah bangsa yang besar atau juga kita sudah kehilangan
jejak bagaimana menghormati sejarah luhur perjuangan bangsa ini dari
yang tadinya terhina akibat penjajahan menjadi bangsa yang merdeka yang
semua itu telah dibayar dengan darah, nyawa dan air mata para Pahlawan
bangsa ini.
Kita sekarang memang tidak lagi dijajah oleh bangsa
asing, namun tidak dapat dipungkiri kita saat ini kita "dijajah" oleh
bangsa sendiri yang lebih mengakomodir kepentingan bangsa asing
ketimbang kepentingan rakyat, mereka (penguasa) lebih melayani bangsa
asing sebagai penanam modal dan telah menjadi pemilik mayoritas
perusahaan besar di Indonesia, dimana perusahaan asing tersebutlah yang
sekarang ini banyak menguasai hajat hidup rakyat banyak di Indonesia
ini, dan itu terjadi dimulai sejak jaman Orde Baru dulu.
Salah
satu kelemahan anak bangsa ini, kita begitu mudah dipecah-belah oleh
kepentingan bangsa asing yang mana mereka sangat tahu bahwa sejati
bangsa kita telah terkotak-kotak dalam ikatan primordialisme dalam
bentuk prilaku SARA, (SUKU, RAS, AGAMA dan ANTAR GOLONGAN) yang
dampaknya jauh lebih kejam dari penjajahan bangsa asing itu sendiri.
Untuk menyelamatkan semua ini kita harus bangkit dan mengenal sejarah
dan cita-cita bangsa ini serta menjalankan demokrasi Pancasila yang
mengedepankan Iman dan Taqwa, Kemanusiaan dan Nasionalisme dalam budaya
prilaku kita terutama saat berdemokrasi khususnya dalam Pemilihan Umum
dan Pemilukada untuk mendapatkan kekuasaan yang sah demi mewujudkan
cita-cita bangsa ini ke depan.
Namun dalam proses itu semua baik
itu di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maupun saat hukum
dibutuhkan sebagai panglima yang menegakkan segala bentuk pelanggaran
PEMILU / PEMILUKADA, haruslah dilakukan melalui Penegakan Hukum yang
baik dan akuntabel, dimana untuk keperluan ini jauh hari sebelumnya
harus telah tersedianya Sumber Daya Manusia / Para Penegak Hukum yang
baik (good Law Enforcement) yang lurus, kredibel yang bekerja tanpa
diskriminasi untuk kepentingan tertentu, ditambah lagi adanya dukungan
dari seluruh rakyat bangsa Indonesia yang memiliki kesadaran dan
kepatuhan hukum terutama dalam setiap pesta demokrasi.
Fakta
yang ada adalah, bangsa ini miskin pendidikan, miskin kesadaran tentang
perlu ada partisipasi politik, karena dalam banyak fakta ternyata
partisipasi politik takyat itu semu karena sebagian besar hak suara
mereka telah dibeli. Dalam banyak fakta negeri ini juga miskin keamanan
dan kebebasan dalam hidup rukun berdampingan dan miskin keadilan dan
kepastian hukum dalam setiap penyelenggaraan Pemilu.
Pada saat
rakyat masih "miskin ekonomi dan miskin kesadaran politik", bukanlah hal
yang ideal untuk diajak berdemokrasi apalagi ditengah karut-marutnya
penegakan hukum, maka dalam situasi seperti ini mustahil tujuan negara
Indonesia dapat dicapai dengan baik oleh mereka yang memegang kekuasaan,
lebih jauh lagi mustahil demokrasi dan pemilu berjalan mulus tanpa ada
kecurangan.
Dalam situasi seperti ini pembangunan cenderung
berdampak sebaliknya yaitu membuat rakyat semakin miskin, terjadinya
kerusaknya system dan prilaku sosial, rusaknya lingkungan hidup serta
merajalelanya budaya korupsi yang semakin sulit dicegah. Bukankah fakta
yang ada, dimana Indonesia dikenal sebagai sebuah negara dengan Sumber
Daya Alam (SDA) yang melimpah, namun rakyatnya miskin ditengah-tengah
kekayaan alamnya karena "semua" potensi Sumber Daya Alam Indonesia telah
dikelola dan dikuasai oleh perusahaan-perusahaan (Pemodal) asing,
akibatnya seluruh yang menguasai hajat hidup rakyat Indonesia ada di
tangan bangsa asing dan pada gilirannya kita akan dan/atau telah menjadi
kacung dan budak di negeri sendiri. Ironis bukan !!